Gawat, Harga Minyak Nabati Dunia Capai Titik Tertinggi usai Indonesia Larang Ekspor Minyak Sawit
Kompas dunia | 30 April 2022, 19:28 WIBPARIS/NEW YORK, KOMPAS.TV - Keputusan Indonesia menangguhkan ekspor minyak sawit untuk menghadapi kelangkaan domestik mendorong harga minyak nabati ke level tertinggi baru. Ini jelas semakin bikin runyam pasar dunia yang sudah terancam akibat perang di Ukraina dan pemanasan global, seperti laporan Straits Times, Sabtu (30/4/2022).
Harga sawit, kedelai, minyak lobak Eropa dan bahkan mitra transgeniknya dari Kanada, minyak canola, mencapai rekor tertinggi dalam sejarah setelah pengumuman Indonesia hari Rabu (27/4/2022).
"Kami sudah mengalami masalah dengan kedelai di Amerika Selatan dan kanola di Kanada," kata Prof Philippe Chalmin, seorang profesor ekonomi di Universitas Paris-Dauphine di Prancis, yang menyatakan kedua tanaman tersebut sangat terpengaruh oleh kekeringan yang berkepanjangan.
Kemudian datang kehancuran dari bencana "bunga matahari di Ukraina" akibat serangan Rusia, tambahnya.
Minyak sawit adalah minyak nabati yang paling banyak dikonsumsi di dunia, dan Indonesia menyumbang 35 persen dari ekspor global, menurut Mr James Fry, ketua perusahaan konsultan LMC.
Larangan ekspor Indonesia dirancang untuk menurunkan harga di dalam negeri dan mengatasi kelangkaan, menurut Presiden Indonesia Joko Widodo saat mengumumkan kebijakannya.
Baca Juga: Jokowi: Ironis Negara Produsen Minyak Sawit Terbesar Kesulitan Minyak Goreng, Tak akan Saya Biarkan
Namun, Prof Chalmin mengatakan langkah itu "datang pada saat yang paling buruk".
Ia juga menekankan, "Kenaikan harga sudah terjadi sejak tahun lalu dan diperparah oleh konflik Ukraina."
Rich Nelson dari riset pasar pertanian dan perusahaan perdagangan Allendale mengatakan "industri percaya itu akan berlangsung mungkin selama satu bulan, mungkin dua (bulan),".
Tetapi sementara itu, harga telanjur meroket di pasar yang harganya "sudah melonjak", katanya.
Tidak seperti biji minyak lainnya, buah sawit tidak disimpan begitu dipetik dan harus segera diproses, kata Pak Fry.
Sistem penyimpanan minyak sawit Indonesia, yang memiliki cadangan yang cukup besar, kini berada di bawah tekanan lebih lanjut, katanya.
Baca Juga: Indonesia Larang Ekspor Minyak Sawit dan Minyak Goreng, Pasar Global Terguncang
Lingkaran setan
Meskipun harga minyak nabati, selain beberapa komoditas pertanian lainnya, naik selama berbulan-bulan sebelumnya, permintaan belum melambat.
"Sulit untuk menjatah permintaan komoditas pangan dengan harga yang lebih tinggi," kata Arlan Suderman, kepala ekonom komoditas di StoneX Financial.
Minyak kelapa sawit, yang banyak digunakan dalam makanan olahan seperti mie instan dan makanan yang dipanggang, juga terdapat dalam produk konsumen lainnya, seperti produk perawatan pribadi dan kosmetik.
"Pada akhirnya (dampaknya) itu akan menetes ke bawah," kata Paul Desert-Cazenave dari perusahaan konsultan Grainbow, "tetapi masih terlalu dini untuk mengukur kenaikan harga kepada konsumen".
Dalam jangka pendek, satu-satunya minyak sayur yang mungkin bisa memberikan sedikit bantuan ke pasar minyak nabati adalah kedelai.
Amerika Serikat dan Brasil, dua pengekspor kedelai utama dunia, masih memiliki stok yang cukup tersedia, meskipun lebih banyak pengiriman dari negara-negara tersebut hanya akan berdampak kecil pada harga minyak nabati.
Departemen Pertanian AS, USDA mengumumkan bulan lalu, mereka mengharapkan areal kedelai meningkat lebih dari 4 persen dari tahun lalu, sementara jagung akan menyusut dengan jumlah yang sebanding.
Pengekspor minyak lobak utama dunia, Kanada, sementara itu pada Selasa mengatakan mereka memperkirakan penurunan tujuh persen di areal yang dikhususkan untuk minyak lobak transgenik yang digunakan dalam minyak canola.
Baca Juga: Larangan Ekspor CPO Resmi Berlaku, Mendag Lutfi: Ekportir yang Melanggar Bakal Kena Sanksi
Analis dan ekonom menilai perlu adanya kebijakan publik terkait krisis pangan karena selain untuk pangan, minyak nabati juga banyak digunakan dalam bahan bakar nabati.
Berdasarkan krisis saat ini, "kita akan melihat lebih banyak tekanan pada negara-negara untuk mengurangi mandat pencampuran biodiesel mereka, dan mandat diesel terbarukan," kata Suderman.
"Itu akan memakan waktu," dia memperingatkan, "tetapi di situlah Anda akan mengalami kehancuran permintaan terbesar Anda."
Eropa mengeluarkan arahan pada tahun 2018 yang mengecualikan minyak sawit dari target energi terbarukan pada 2030. Beberapa negara blok itu, termasuk Prancis, berhenti menggunakannya.
Terlepas dari gejolak saat ini, Indonesia dan Malaysia, eksportir terbesar kedua di dunia, mempertahankan program masing-masing untuk memadukan minyak sawit ke dalam bahan bakar nabati mereka.
Lebih buruk lagi, banyak importir minyak sawit utama, terutama Mesir, Bangladesh dan Pakistan, melihat mata uang mereka terdepresiasi secara signifikan dalam beberapa bulan terakhir, kata Michael Zuzolo, presiden Analisis dan Konsultasi Komoditas Global.
Sementara itu, beberapa eksportir biji minyak utama seperti AS dan Brasil mengalami hal sebaliknya, dengan dolar mencapai level tertinggi bertahun-tahun terakhir.
"Ini adalah skenario terburuk yang mulai berkembang," kata Zuzolo.
Potensi yang kami hadapi adalah menempatkan importir dalam "lingkaran umpan balik negatif di mana mereka akan semakin kesulitan menjaga pasokan tetap cukup," pungkas Zuzulo.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Straits Times