> >

Laporan IUCN 2021, Indonesia Punya 189 Fauna Kritis Terancam Punah, 26 Spesies Adalah Mamalia

Kompas dunia | 6 September 2021, 07:00 WIB
Macaca nigra atau Yaki atau monyet hitam Sulawesi adalah satwa endemik Indonesia di Sulawesi utara. Yaki hidup di hutan primer dan sekunder, pesisir maupun di dataran tinggi hingga 2.000 meter di atas permukaan laut (dpl). Yaki saat ini berstatus Kritis Terancam Punah dalam daftar IUCN (Sumber: WCS Indonesia Program)

Badak jawa mungkin mamalia besar paling langka di bumi dengan populasi sekitar 75 di Taman Nasional Ujung Kulon di ujung barat Jawa di Indonesia.

Penurunan populasi badak jawa dikaitkan dengan perburuan, terutama untuk culanya, yang sangat berharga dalam pengobatan tradisional Tiongkok, dengan harga mencapai 30.000 dollar AS per kg di pasar gelap.

Sisa populasi saat ini hanya ada di Taman Nasional Ujung Kulon di Banten, namun masih terancam pemburu liar, penyakit, dan hilangnya keragaman genetik akibat perkawinan sedarah.

Badak jawa dapat hidup sekitar 30–45 tahun di alam liar. Secara historis menghuni hutan hujan dataran rendah, padang rumput basah, dan dataran banjir besar.

Spesies ini sebagian besar soliter, kecuali untuk musim kawin dan membesarkan anak. Badak jawa biasanya menghindari manusia.

Para ilmuwan dan konservasionis jarang mempelajari hewan secara langsung karena kelangkaan ekstrem mereka dan bahaya mengganggu spesies yang terancam punah tersebut.

Para peneliti mengandalkan kamera jebak (Camera Trap) dan sampel tinja untuk mengukur kesehatan dan perilaku.

Badak jawa lebih kecil dari badak India, dan ukurannya mendekati badak hitam. Merupakan hewan terbesar di Jawa dan hewan terbesar kedua di Indonesia setelah gajah Asia.

Baca Juga: Primata Asli Gunung Leuser itu Orangutan Sumatera, Kini diambang Kepunahan

Orangutan Sumatra

Orangutan Sumatera, Pongo abelii, yang berbeda spesies dari Orangutan Tapanuli. (Sumber: Kabir Bakie/Wiki Species)

Orangutan sumatera (Pongo abelii) adalah salah satu dari tiga spesies orangutan.

Orangutan Sumatera hanya ditemukan di Sumatra Utara dengan populasi lebih jarang daripada orangutan Kalimantan tetapi lebih banyak daripada orangutan Tapanuli yang juga ditemukan di Sumatra. 

Orangutan sumatra liar di rawa Suak Balimbing diamati menggunakan alat bantu terutama dalam mencari makanan. Mereka akan mematahkan dahan pohon yang panjangnya sekitar setengah meter, mematahkan ranting-rantingnya dan mengobrak-abrik salah satu ujungnya dengan giginya.

Orangutan sumatera akan menggunakan tongkat saat menggali lubang pohon untuk menangkap rayap yang merupakan salah satu kudapan favorit. Mereka juga menggunakan tongkat untuk menyodok dinding sarang lebah, memindahkannya dan mengambil madunya untuk dikonsumsi.

Alat dibuat berbeda untuk kegunaan yang berbeda. Tongkat sering dibuat lebih panjang atau lebih pendek tergantung pada apakah mereka akan digunakan untuk serangga atau buah-buahan.

Jika alat tertentu terbukti bermanfaat, orangutan akan sering menyimpannya dan seiring waktu, mereka akan memiliki sebuah "kotak peralatan".

Menurut IUCN, ancaman utama bagi orangutan sumatra terutama adalah penurunan habitat alami akibat aktivitas manusia, perubahan iklim & cuaca buruk, dan pergeseran serta pengubahan habitat.

IUCN mencatat status orangutan sumatra saat ini dalam kondisi kritis terancam punah (Critically Endangered Species).

Pada tahun 2017, sekitar 82,5% populasi orangutan sumatra terbatas di ujung paling utara pulau, di Provinsi Aceh. Orangutan jarang ditemukan di selatan Sungai Simpang Kanan di sisi barat Sumatra atau di selatan Sungai Asahan di sisi timur.

Untuk spesies yang telah lama dianggap sedikit lebih kuat daripada tampilan museum, itu adalah perubahan radikal dalam narasinya, yang mungkin mengarah pada komitmen uang dan usaha baru.

Sebuah survei yang diterbitkan pada Maret 2016 memperkirakan populasi 14.613 orangutan sumatra di alam liar, dua kali lipat dari perkiraan populasi sebelumnya.

Sebagian di antaranya dilindungi di lima kawasan di Taman Nasional Gunung Leuser, lainnya tinggal di daerah yang tidak terlindungi.

Program pembiakan yang berhasil telah dilaksanakan di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh di Provinsi Jambi dan Riau.

Baca Juga: Terancam Punah, Ini Penampakan Rusa Sambar yang Jadi Rusa Terbesar di Indonesia

Rusa Bawean. Berdasarkan data Balai Besar Konservasi Sumber Alam Jawa Timur, populasi rusa bawean mengalami penurunan dari 325 ekor pada tahun 2015 menjadi 303 ekor pada 2016. (Sumber: Brent Huffman/IUCN)

Rusa Bawean

Rusa bawean (Axis kuhlii) aalah satu jenis rusa yang endemik di Pulau Bawean, sebuah pulau di kawasan Laut Jawa. Jenis ini dikenal sebagai pelari ulung yang hidup di semak-semak hutan dan aktif malam hari. 

Rusa ini sangat hati-hati alias tidak menyukai kehadiran manusia, sehingga banyak menghabiskan waktu di hutan dan lereng-lereng curam.

Seperti dilansir Mongabay, tinggi rusa bawean dewasa sekitar 65 cm dengan panjang tubuh mencapai 140 cm. Jenis ini tidak memiliki gigi taring di rahang atas, sementara gigi seri di rahang bawah berukuran agak besar.

Berdasarkan data Balai Besar Konservasi Sumber Alam Jawa Timur, populasi rusa bawean mengalami penurunan dari 325 ekor pada tahun 2015 menjadi 303 ekor pada 2016.

Di Indonesia, rusa bawean merupakan jenis dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi.

Berdasarkan peraturan ini juga, keluarga Cervidae lain yang dilindungi adalah rusa sambar (Rusa unicolor), rusa timor (Rusa timorensis), kijang kuning (Muntiacus atherodes), dan kijang muncak (Muntiacus muntjak).

IUCN metetapkan rusa bawean dalam status Critically Endangered atau Kritis dan Terancam Punah. Berdasarkan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), rusa ini masuk Appendix 1, artinya jumlah rusa bawean di alam sangat sedikit dan tidak boleh diperdagangkan.

Baca Juga: Suku-Suku Asli Amazon Desak Perlindungan Hutan Hujan Amazon pada Kongres IUCN September Nanti

Selain satwa-satwa tersebut, satwa lain yang masuk kategori Kritis Terancam Punah adalah Trenggiling Sunda, Burung Rangkong Helm, Orangutan Kalimantan, Yaki, Kukang Jawa, Kelelawar Aru, Hiu Martil, dan Hiu Sirip Putih.

IUCN pada hari Sabtu juga secara resmi meluncurkan "status hijau", yaitu standar global pertama untuk menilai pemulihan spesies dan mengukur dampak upaya konservasi.

“Hal ini membuat kerja konservasi yang tidak terlihat menjadi terlihat,” Molly Grace, seorang profesor di Universitas Oxford dan ketua bersama Green Status, mengatakan pada konferensi pers pada hari Sabtu, (04/09/2021)

Tolok ukur baru itu mengukur sejauh mana spesies habis atau pulih dibandingkan dengan tingkat populasi historis mereka, dan mengukur serta menilai efektivitas tindakan konservasi masa lalu dan potensi masa depan.

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : IUCN/France24/Yale School of Environment/Pusat Studi Satwa Primata IPB


TERBARU