> >

Sudah Lebih 700 Rakyat Myanmar Dibunuh Aparat Keamanannya Sendiri Sejak Kudeta 1 Februari Lalu

Kompas dunia | 11 April 2021, 16:55 WIB
Hingga hari Sabtu, (10/04/2021) sudah lebih dari 700 rakyat Myanmar tewas dibunuh aparat keamanannya sendiri dalam operasi junta militer yang mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan sipil 1 Februari lalu, seperti dilansir Straits Times, Minggu, (11/04/2021). (Sumber: AP Photo)

YANGON, KOMPAS.TV - Hingga hari Sabtu (10/04/2021), sudah lebih dari 700 rakyat Myanmar tewas dibunuh aparat keamanannya sendiri dalam operasi junta militer yang mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan sipil 1 Februari lalu, seperti dilansir Straits Times, Minggu (11/04/2021). 

Pada Minggu (11/04/2021) pagi, seorang penjaga keamanan terluka dalam ledakan bom di luar sebuah bank milik militer di Mandalay, kota terbesar kedua Myanmar, dalam kekacauan sejak militer menggulingkan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi.

Cabang terbesar Bank Myawaddy di Mandalay menjadi sasaran pada Minggu pagi dan seorang penjaga keamanan terluka dalam ledakan itu, menurut media lokal.

Tidak lama setelah ledakan, petugas keamanan langsung menutup wilayah dan melakukan pengawalan ketat.

Bank tersebut adalah salah satu dari sejumlah bisnis yang dikendalikan militer yang menghadapi tekanan boikot sejak kudeta, dengan banyak pelanggan menuntut untuk menarik tabungan mereka.

Baca Juga: Menlu Retno Terima Dukungan Inggris Terhadap ASEAN untuk Selesaikan Krisis Myanmar

Seorang balita Myanmar yang selamat dalam serangan udara militer pada Minggu (28/3/2021). (Sumber: SS/Eagle News/YouTube)

Darah rakyat Myanmar mengalir deras dari tubuh-tubuh yang mati ditembak aparat keamanan dalam beberapa hari terakhir.

Pada hari Sabtu, sebuah kelompok pemantau mengatakan pasukan keamanan hari Jum'at, (09/04/2021) membunuh 82 orang pengunjuk rasa anti-kudeta di kota Bago, 65 km timur laut Yangon.

Rekaman yang diverifikasi AFP via Straits times pada Jumat pagi menunjukkan pengunjuk rasa bersembunyi di balik barikade karung pasir bermodalkan senapan rakitan, ketika ledakan terdengar di latar belakang.

Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa di Myanmar men-tweet pada Sabtu malam, bahwa mereka mengikuti pertumpahan darah di Bago, dan dilaporkan fasilitas kesehatan setempat menolak perawatan korban pengunjuk rasa atas tekanan militer. 

Secara keseluruhan, Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik telah memverifikasi 701 kematian warga sipil sejak kudeta tersebut 1 Februari lalu. Sementara, junta militer mengklaim korban tewas hanya 248 orang, menurut juru bicara junta militer pada hari Jumat.

Baca Juga: Tentara Junta Militer Myanmar Diserang Pemberontak Kachin, Ranjau Darat Digunakan

Panglima Tertinggi Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing memimpin parade tentara pada Hari Angkatan Bersenjata di Naypyitaw, Myanmar, Sabtu, 27 Maret 2021. (Sumber: AP Photo)

Darah dan lepasnya nyawa tampaknya tidak menghalangi pengunjuk rasa untuk terus melakukan aksi perlawanan di berbagai wilayah Myanmar. 

Mahasiswa universitas dan profesor mereka berbaris melalui jalan-jalan di Mandalay dan kota Meiktila pada Minggu pagi, memprotes kudeta dan kekerasan brutal yang mengikuti kudeta tersebut, demikian dilaporkan media lokal yang dikutip Straits Times.

Dalam unjuk rasa oleh profesor dan mahasiswa itu, sebagian pengunjuk rasa membawa tangkai bunga Eugenia - simbol kemenangan.

Di Yangon, pengunjuk rasa membawa spanduk yang bertuliskan, "Kami akan mendapatkan kemenangan, kami akan menang."

Para pengunjuk rasa di sana, serta di kota Monywa, menulis pesan politik di daun termasuk "Kita harus menang" dan menyerukan intervensi PBB untuk mencegah pertumpahan darah lebih lanjut.

Di seluruh negeri orang telah didesak untuk berpartisipasi dalam protes obor di lingkungan mereka setelah matahari terbenam pada Minggu malam.

Baca Juga: Junta Militer Myanmar Tangkap Aktor Tampan Penentang Kudeta

Jenazah seorang pria yang tewas dalam protes anti-kudeta dibawa ke rumah sakit di kotapraja Latha, Yangon, Myanmar, Sabtu, 27 Maret 2021. (Sumber: AP Photo)

Hukuman Mati Kembali Diberlakukan

Kerusuhan juga meletus hari Sabtu di kota Tamu barat laut, dekat perbatasan India, saat pengunjuk rasa melawan ketika tentara mencoba merobohkan barikade darurat yang didirikan untuk memblokir pasukan keamanan.

Dua warga sipil tewas ketika tentara mulai menembak secara acak, kata seorang penduduk setempat, dengan pengunjuk rasa membalas dengan melemparkan bom yang meledak dan menjungkirbalikkan sebuah truk militer, menewaskan lebih dari selusin tentara.

"Beberapa bersembunyi, kami khawatir orang-orang kami akan terluka sebagai pembalasan," kata penduduk itu kepada AFP.

Pertumpahan darah yang meningkat juga membuat marah beberapa dari 20 atau lebih kelompok etnis bersenjata Myanmar, yang menguasai sebagian besar wilayah di wilayah perbatasan.

Ada bentrokan hari Sabtu di negara bagian Shan utara, ketika Tentara Pembebasan Nasional Ta'ang (TNLA), sebuah kelompok pemberontak etnis, melancarkan serangan menjelang fajar di sebuah kantor polisi, kata Brigjen TNLA Tar Bhone Kyaw, yang menolak memberikan detailnya.

Baca Juga: Bantah Tuduhan Bunuhi Anak-Anak, Junta Militer Myanmar Malah Salahkan Demonstran

Dua orang demonstran tampak sedang mengetes senjata buatan mereka untuk membalas serangan pasukan keamanan di Yangon, Myanmar, Rabu (17/3/2021). (Sumber: AP Photo)

Media lokal melaporkan lebih dari selusin petugas polisi tewas, sementara TNLA mengatakan militer membalas dengan serangan udara terhadap pasukannya, menewaskan sedikitnya satu tentara pemberontak.

Televisi pemerintah melaporkan pada malam hari bahwa kelompok bersenjata teroris menyerang kantor polisi dengan persenjataan berat dan membakarnya.

Sementara itu, media pemerintah melaporkan pada hari Jumat 19 orang telah dijatuhi hukuman mati karena perampokan dan pembunuhan oleh pengadilan militer, dengan 17 di antaranya diadili secara in absentia.

Mereka ditangkap di kotapraja Okkalapa Utara Yangon, salah satu dari enam daerah di pusat perdagangan yang saat ini berada di bawah darurat militer, yang berarti siapa pun yang ditangkap di sana akan diadili oleh pengadilan militer.

Myanmar telah lama menerapkan hukuman mati, tetapi tidak melaksanakan eksekusi mati selama lebih dari 30 tahun, kata Phil Robertson, wakil direktur divisi Asia untuk Human Rights Watch.

"Ini menunjukkan militer bersiap untuk kembali ke masa ketika Myanmar mengeksekusi orang," katanya.

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : Kompas TV


TERBARU