> >

138 Demonstran Tewas, Eks Parlemen Prodemokrasi Myanmar Khawatir Pecahnya Perang Saudara

Kompas dunia | 16 Maret 2021, 14:41 WIB
Protes anti-kudeta yang terjadi di Yangon, Myanmar pada Minggu (14/3/2021). Sedikitnya empat orang tewas dalam demonstrasi yang terjadi pada hari Minggu. (Sumber: Associated Press)

NAYPYIDAW, KOMPAS.TV – Kekejaman junta militer Myanmar terhadap demonstran memunculkan kekhawatiran pecahnya kembali perang saudara yang besar di negara itu.

Sejauh ini PBB mencatat sebanyak 138 orang tewas sejak kudeta terjadi pada 1 Februaru 2021 lalu. Yang paling parah adalah tewasnya 39 orang dalam demonstrasi antikudeta yang berlangsung Ahad 14 Maret lalu. 

Dr Sasa, utusan parlemen prodemokrasi untuk PBB menganggap perlunya tekanan dunia terhadap junta militer untuk menghindari berlanjutnya pertumpahan darah.

Baca Juga: Sudah 400 Orang Myanmar Menyeberang ke India, Sebagian Besar Polisi dan Petugas Damkar

Dia memprediksi, tekanan junta militer akan memancing rakyat Myanmar melawan balik dengan mempersenjatai diri. 

Dr Sasa menyeru supaya junta militer mundur dan membebaskan tahanan politik yang ditangkap serta mengembalikan demokrasi di Myanmar.

Dia menyatakan, pimpinan junta bisa mengalami nasib serupa dengan para pemimpin dunia macam Saddam Husein (Irak) maupun Muammar Gaddafi (Libya) yang akhirnya dibunuh.

"Mereka bisa berakhir tertangkap atau dibunuh," jelas Dr Sasa dilansir Kompas.com seperti diberitakan Sky News Senin (15/3/2021).

Baca Juga: Junta Militer Myanmar Umumkan Darurat Militer Lebih Luas di Sebagian Besar Kota Yangon

Dr Sasa berharap peran negara besar seperti India, China dan AS dalam upaya menghentikan kekerasan di Myanmar. Ia juga ingin, negara-negara di kawasan Asia Tenggara lebih aktif menekan junta.

"Jika koalisi internasional ini tak terbentuk, saya khawatir, perang saudara terhebat bakal kita saksikan."

Peran aktif dan tekanan yang dimaksud Dr Sasa adalah melalui sanksi yang terkoordinasi, baik secara diplomatis, politis dan ekonomis.

Tatmadaw, nama junta Myanmar, melakukan kudeta pada 1 Feburari setelah mengklaim adanya kecurangan pada pemilu November 2020.

Baca Juga: PBB: Sedikitnya 138 Pengunjuk Rasa Tewas Dibunuh Aparat Keamanan Myanmar Sejak Kudeta

Sejak kudeta itu, sebenarnya demonstran ingin melakukan secara damai tanpa ada darah yang harus ditumpahkan.

Namun, karena tidak ada respon berarti, mereka kini mulai kehilangan harapan untuk mendapat bantuan dari dunia.

Dalam pandangan Dr Sasa, pengunjuk rasa sudah muak karena mereka terus ditembaki dan banyak rekan mereka yang gugur.

"Jadi saya pikir masuk akal jika kita biarkan situasi ini terus berlanjut, warga akan mempersenjatai diri mereka," dia memaparkan.

Baca Juga: Minggu Berdarah! Jumlah Warga Tewas di Myanmar Lebih dari 30 Orang Dalam Satu Hari

Selain 138 demonstran tewas menurut catatan PBB, 2.156 ditahan dan diadili menurut kelompok AAPP Burma.

Para keluarga demonstran yang ditangkap mengungkapkan, bahwa mereka tidak bisa menghubungi korban dan tak tahu kondisinya sekarang.

Sejak merdeka dari Inggris pada 1948, militer Myanmar memang merupakan institusi terkuat di negara tersebut.

Teranyar, laporan Amnesty International menemukan bahwa Tatmadaw mempersenjatai personelnya layaknya sedang berperang.

Baca Juga: Amnesty International Ungkap Video Kekejaman Militer Myanmar Terhadap Demonstran Antikudeta

Senjata itu di antaranya senapan mesin ringan, senapan penembak runduk (sniper), senapan semi-otomatis MA-1, senapan submesin BA-93 dan BA-94.

Dr Sasa juga meyakini, jika benar perang saudara pecah, banyak tentara yang akan membelot dan bergabung dengan rakyat.

Dia menjelaskan bahawa para serdadu itu merasa sudah dipermalukan karena mendapat perintah untuk membunuh pendemo.

"Kebanyakan polisi dan tentara itu akan bergabung karena lebih baik mereka bersama kami daripada para pembunuh itu," tutur dia.

Penulis : Rizky L Pratama Editor : Purwanto

Sumber : Kompas TV


TERBARU