> >

Jamaika Alami Kelangkaan Pasokan Ganja, Petani Mengeluh Namun Regulator Ganja Membantah

Kompas dunia | 6 Februari 2021, 08:05 WIB
Dalam file foto 29 Agustus 2013 ini, seorang petani bernama Breezy memamerkan daun khas tanaman ganja di ladangnya selama tur perkebunannya di kota pegunungan tengah di Jamaika bernama kota Nine Mile. Meskipun pulau ini memiliki industri ganja medis yang diatur dan mendekriminalisasi sejumlah kecil kepemilikan ganja pada tahun 2015, pasokan di pasar ilegal semakin menipis, karena hujan lebat yang deras diikuti oleh kekeringan yang berkepanjangan, peningkatan konsumsi, dan penurunan jumlah tanaman tradisional. (Sumber: AP Photo/David McFadden, File)

KINGSTON, KOMPAS.TV — Jamaika mengalami kelangkaan ganja. Hujan lebat yang disusul musim kering berkepanjangan, peningkatan konsumsi nasional dan turunnya jumlah petani ganja menyebabkan kelangkaan pasokan ganja di pasaran dalam negeri Jamaika.

Associated Press hari Sabtu (06/02/2021) melaporkan, kondisi ini adalah yang terburuk sepanjang sejarah mereka. 

 Triston Thompson,Kepala Pemasaran Tacaya, sebuah usaha konsultan dan makelar industri ganja legal Jamaika mengatakan, "Ini memalukan secara budaya,"

Jamaika yang selama ini identik dengan ganja, reggae, dan Rastafaria, melegalkan industri ganja medis yang teregulasi serta pada tahun 2015 memutuskan kepemilikan ganja dalam jumlah kecil bukanlah tindak pidana.

Baca Juga: Restoran di Thailand Sajikan Hidangan Mengandung Ganja Untuk Pelanggan Agar Bahagia

Orang yang tertangkap memiliki 56 gram (2 ounce) ganja atau kurang dari jumlah itu akan mendapat hukuman denda. Mereka tidak akan ditahan, apalagi tercatat dalam buku kriminal. 

Pulau itu juga mengijinkan setiap warganya menanam maksimal lima batang pohon, dan kaum Rastafaria secara legal boleh mengisap ganja untuk tujuan keagamaan rastafaria mereka. 

Penegakan hukum dilaporkan tidak ketat, seiring bejibunnya pelancong yang datang sementara warga setempat terus berjualan ganja di jalan-jalan, namun kini pasokan ganja makin langka di jalanan.

Baca Juga: Ganja Sudah Tidak Haram di UFC

Hujan lebat saat musim badai memukul lahan pertanian ganja, yang kemudian disusul terik mentari musim kemarau yang berkepanjangan menghanguskan jerih payah dan kerja keras petani menanam ganja. 

Akibatnya, petani ganja menderita kerugian puluhan ribu dollar AS, menurut seorang petani ganja yang menanamnya diluar sistem hukum. 

"Hancur sudah semuanya, hancur," tutur Daneyel Bozra lirih, seorang petani ganja di bagian Barat Daya Jamaika, di kampung bersejarah bernama Accompong, didirikan pelarian budak abad 18 yang terkenal dengan nama Maroons.

Baca Juga: Amsterdam Tahun Depan Larang Turis Asing Nikmati Ganja di Kedai-Kedai Kopi Kota Tersebut

Situasi makin runyam saja akibat upaya pencegahan pandemi Covid-19 di Jamaika, terutama kebijakan jam malam yang dimulai setiap pukul 6 sore.

Kenapa runyam? karena akibat jam malam itu, petani tidak bisa ke ladang pada malam hari, tutur Kenrick Wallace, seorang petani muda berusia 29 tahun yang dibantu 20 petani lain dari desa Accompong bercocok tanam hampir satu hektar ladang ganja.

Kenrick mencatat, buruknya infrastruktur jalan raya membuat para petani ganja harus berjalan kaki ke ladang tempat mereka mencari nafkah, termasuk ke sumur-sumur pengairan, dan ke mata air.

Baca Juga: BNN Sita 20 Ton Daun Ganja

Sekarang, banyak petani ganja yang tidak bisa melakukan itu semua karena jam malam. 

Kenrick Wallace memperkirakan, dia sudah menderita kerugian 18 ribu dollar AS beberapa bulan terakhir dan hanya bisa panen seberat 300 pounds, dibandingkan pada jaman normal seberat 700-800 pounds setiap panen. 

Pegiat ganja yakin, pandemi Covid-19 dan makin longgarnya aturan tentang ganja di Jamaika membuat konsumsi lokal melonjak tajam, yang berakibat kelangkaan ganja di pasaran domestik, bahkan tanpa kedatangan pelancong dari seluruh dunia. 

"Tahun lalu adalah yang terburuk...kami tidak pernah mengalami kerugian sebesar itu," keluh Thompson seraya menambahkan, "Ini lucu. Sungguh lucu. Jamaika mengalami kelangkaan ganja,"

Baca Juga: BNN Sebut PBB Tidak Cabut Ganja dari Daftar Narkoba

Pelancong dunia pun memperhatikan hal tersebut dan mengumumkan di berbagai situs perjalanan bahwa saat ini makin sulit menemui ganja di pasaran Jamaika.

Pemimpin Asosiasi Petani dan Produsen Ganja Jamaika, Paul Burke, lewat wawancara telepon dengan Associated Press mengatakan, orang-orang sekarang tidak lagi khawatir dimasukkan sel tahanan karena negara sudah mengijinkan kepemilikan dalam jumlah kecil. 

Burke mengatakan, stigmatisasi terhadap ganja sudah hilang dan makin banyak orang yang mengapresiasi kemustajaban terapi ganja dan nilai pengobatannya selama pandemi.

Baca Juga: Sambal Ganja? Sambal Khas Aceh Nikmatnya Mantap

Burke juga menuturkan, petani ganja skala kecil mulai berhenti bercocok tanam ganja karena frustasi tidak mampu memenuhi persyaratan hukum pemerintah agar dapat berproduksi dan mensuplai pasar, sementara polisi terus menghancurkan apa yang Burke sebut sebagai "ladang-ladang ganja terbaik"

Otoritas Lisensi Ganja pemerintah membantah saat ini ada kelangkaan ganja di pasaran resmi.

Lembaga inilah yang memberi lisensi 29 usaha pertanian ganja dan 73 usaha transportasi, penjualan eceran, pengolahan, serta kegiatan usaha lain terkait ganja di Jamaika. 

Namun petani dan pegiat industri tersebut mengatakan, ganja yang dijual di tempat-tempat resmi harganya teramat sangat mahal, lima hingga sepuluh kali lipat harga ganja di pasaran kaki lima. 

Penulis : Edwin-Shri-Bimo

Sumber : Kompas TV


TERBARU