> >

Perubahan Kepemimpinan AS Bikin Boris Johnson Yang Kerap Memuji Trump Berbalik Dramatis Kritik Trump

Kompas dunia | 15 Januari 2021, 01:37 WIB
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson dan petahana Presiden AS Donald Trump dalam konferensi G-7 di Biarritz, Prancis, 25 Agustus 2019. (Sumber: AP Photo / Erin Schaff)

LONDON, KOMPAS.TV – Dalam politik, tidak ada lawan abadi. Begitu pula sebaliknya: tak ada kawan abadi. Bila politik berganti haluan, yang tadinya kawan pun bisa berubah jadi lawan, meski secara canggung.

 Inilah yang terjadi pada Perdana Menteri Inggris Boris Johnson. Selama bertahun-tahun, ia tercatat kerap memberi komentar hal-hal positif tentang Donald Trump, mulai dari mengungkapkan kekaguman pada petahana presiden AS itu hingga menyebut Trump layak mendapat Hadiah Nobel Perdamaian.

Baca Juga: Menlu Inggris Dukung Donald Trump Raih Nobel Perdamaian

Namun, setelah kerusuhan yang dilakukan para pendukung Trump di Gedung Capitol pada 6 Januari lalu, Johnson mengubah nada bicaranya.

Trump, sebut Johnson, telah mendorong terjadinya pemberontakan disertai aksi kekerasan, mempermasalahkan hasil pemilu AS yang bebas dan adil, dan sepenuhnya berada di pihak yang salah.

Ini jelas merupakan perputaran haluan dramatis bagi seseorang yang kerap dibandingkan dengan Trump. Johnson juga disebut telah menahan diri selama bertahun-tahun untuk mengkritik Trump secara terbuka.

Sejumlah pemimpin dunia lain juga menghadapi dilema dalam menghadapi presiden yang mudah berubah dan tidak bisa ditebak ini, yang menghancurkan beragam kesepakatan dan institusi internasional dengan mengabaikannya. Namun, para pengkritik Johnson menyebut, pujian yang dilancarkan Johnson bagi Trump selama bertahun-tahun – beberapa bahkan menyebut Johnson kerap meniru Trump –, telah melukai otoritas internasional Inggris dan meracuni budaya politiknya.

Leslie Binjamuri, direktur program AS di lembaga Chatham House mengatakan, masalah menghadapi Trump telah menjadi pertanyaan terbesar bagi diplomasi Barat selama 4 tahun terakhir.

“Dan jika saya boleh bilang, Inggris berada di sisi yang salah,” ujarnya.

Baca Juga: Perdana Menteri Inggris Boris Johnson Positif Corona

Johnson bukan satu-satunya pemimpin Barat yang berupaya berteman, membujuk atau menenangkan Trump. Presiden Prancis Emmanuel Macron pun sempat memiliki hubungan akrab dengan presiden AS itu dengan mengundang Trump ke Paris pada tahun 2017 untuk hadir pada parade militer Hari Bastille dan makan malam di Menara Eiffel. Pendahulu Johnson, Theresa May, juga berkunjung ke Gedung Putih beberapa hari setelah Trump dilantik dan berfoto dengan berjabat tangan dengan sang presiden AS.

Relasi yang dijalin Macron dan May dengan Trump tak berbuah manis, namun Johnson terbilang lebih sukses berteman dengan presiden yang balik memujinya sebagai “Trump versi Inggris”.

Baca Juga: "Mesranya" Donald Trump dan Emmanuel Macron

“Sudah menjadi rahasia umum kotor di Eropa selama era Trump bahwa semua orang menganggap Trump sebagai ancaman,” ujar Brian Klaas, profesor politik global di Universitas College London. “Hanya saja, Boris mengira bahwa Trump adalah ancaman yang berpotensi melayani kepentingannya sendiri.”

Para pendukung Johnson beralasan, Johnson tak punya pilihan lain selain memuji pemimpin sekutu Inggris paling penting ini – terutama saat Inggris keluar dari Uni Eropa dan mencari kesepakatan dagang utama dengan Washington.

Johnson memang mencoba mengubah haluan Trump, membujuknya kembali ke kesepakatan nuklir Iran, tapi gagal. Ia juga semula sempat menolak tekanan AS untuk melarang perusahaan teknologi China Huawei dari jaringan telekomunikasi 5G Inggris, meskipun akhirnya menyerah. Sementara, kesepakatan dagang Inggris – AS yang didamba belum juga muncul.

Baca Juga: Iran akan Gelar Latihan Penembakan Peluru Kendali di Teluk Oman

Para pengkritik menyebut, Johnson terlampau jauh mendekati Trump, dan hanya mendapat balasan sedikit.

Emily Thornberry, seorang anggota parlemen senior dari oposisi Partai Buruh, berkomentar, sikap pemerintah Inggris yang memanjakan Trump memalukan dan tidak perlu.

“Kami melakukan segala yang kami bisa untuk memikatnya,” ujarnya seperti dikutip dari Associated Press. “Tapi kami tidak bisa memikat orang ini. Ia adalah seorang perundung dan cara menghadapi seorang perundung adalah dengan melawan mereka.”

“Secara prinsip, ini sudah salah. Ini tidak mengekspresikan kepentingan kami dalam segala cara, malah justru memberikan semacam kredibilitas yang tak sepantasnya diterima Donald Trump," tambahnya.

Seperti Trump, Johnson pun terlibat dalam aksi-aksi populis, berjanji berlebihan, dan seringkali, bersikap rasis dan menghasut.

Namun pada sebagian besar isu kebijakan, Johnson terbilang lebih dekat pada Presiden Terpilih AS Joe Biden ketimbang Trump. Johnson, pemimpin Partai Konservatif Inggris, yakin pada aliansi internasional seperti NATO dan menganggap bahwa perjuangan melawan perubahan iklim harus menjadi prioritas pemerintah.

Baca Juga: Ucapan Selamat untuk Joe Biden dari Perdana Menteri Inggris dan Israel

Sejumlah politisi dan pejabat Inggris mengkhawatirkan hubungan pemerintah mereka dengan Trump, yang telah dimakzulkan oleh DPR AS pada Rabu lalu untuk kali kedua, dapat mencemari hubungan dengan pemerintahan AS yang baru di bawah Biden.

Biden tidak percaya pada Johnson, yang sempat menghina Presiden Barack Obama dengan menyebut bahwa pemimpin “berdarah setengah Kenya” itu memiliki ketidaksukaan turun-temurun pada Inggris. Biden mengkritik Johnson pada musim gugur lalu saat pemimpin Inggris itu mengancam akan melanggar kesepakatan internasional Brexit yang telah ia tanda tangani sendiri.

Kim Darroch, yang kehilangan pekerjaannya sebagai duta besar Inggris di Washington setelah komentar rahasianya tentang Trump bocor pada 2019, menulis di Financial Times, “Akan ada harga yang harus dibayar, di suatu tempat di masa mendatang, atas segala puja-puji kami pada pendahulu Biden.”

Penulis : Vyara-Lestari

Sumber : Kompas TV


TERBARU