> >

Kepada AS, Prabowo Harus Tegaskan Kebebasan Indonesia Bersahabat dengan Negara Manapun

Kompas dunia | 16 Oktober 2020, 23:00 WIB
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana. (Sumber: Dok Istimewa)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Undangan Pemerintah Amerika Serikat (AS)  kepada Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto mengundang reaksi dan pertanyaan banyak kalangan.

Tidak saja dari kelompok pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia seputar dugaan pelanggaran HAM oleh Prabowo Subianto di masa lalu, tetapi juga menyangkut masalah hubungan Indonesia dengan negara-negara sahabat.

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana berpendapat, AS selama ini melihat, ada kedekatan ekonomi Indonesia terhadap China.

Dikhawatirkan ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap China akan melemahkan prinsip Kebijakan Luar Negeri Indonesia yang bebas aktif. Padahal Indonesia adalah negara strategis dan memiliki peran yang sentral di kawasan Asia Pasifik, baik untuk AS maupun China.

"Indonesia diprediksi oleh AS akan jatuh ke tangan China dengan ketergantungan ekonominya dan mudah dikendalikan oleh China. Oleh karenanya Menhan AS mengundang Menhan Indonesia utk memperkuat kerja sama pertahanan kedua negara," kata Hikmahanto Juwana dalam pernyataannya kepada Kompas TV, Jumat (16/10/2020).

Lebih lanjut, Hikmahanto Juwana menjelaskan, dalam Buku Putih Departemen Pertahanan AS disebutkan bahwa China berniat untuk membangun pangkalan militer di Indonesia.

Undangan khusus untuk Menhan Prabowo Subianto oleh Pemerintah AS ini menurut Hikmahanto Juwana juga sekaligus pesan dari AS kepada China bahwa Indonesia berpihak kepada AS. Utamanya dalam masalah ketegangan AS-China di Laut China Selatan.

Dalam konteks ini, Hikmahanto Juwana menegaskan, Pemerintah Indonesia melalui Menhan Prabowo Subianto harus mampu menegaskan kepada AS bahwa Indonesia bersahabat dengan negara manapun.

"Menhan Indonesia harus tetap berangkat ke AS untuk menghadiri undangan Menhan AS. Keberangkatannya untuk menegaskan bahwa Indonesia bersahabat dengan siapapun negara," tegas Hikmahanto Juwana.

Baca Juga: Prabowo Dijadwalkan Bertemu dengan Menhan AS Mark Esper di Pentagon

AS Harus Jamin  Prabowo Tidak Diadili Kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu

Aktivitas Prabowo Subianto dalam dunia militer semasa orde baru penuh dengan dugaan berbagai kasus pelanggaran HAM. Seperti kasus Timor Timur dan penculikan aktivis 1997-1998.

Hikmahanto Juwana menegaskan, keberangkatan Menhan Prabowo harus mendapat jaminan dari pemerintah AS agar Prabowo tidak diseret ke lembaga peradilan atas dugaan pelanggaran HAM masa lalu.

"Pemerintah Indonesia wajib meminta jaminan agar Prabowo saat di AS tidak diseret oleh siapapun ke pengadilan, terutama dari korban atau keluarga korban Timor Timur yang bermukim di AS. Perwakilan Indonesia di AS pun harus mencermati kemungkinan adanya gugatan ke Prabowo baik sebelum maupun saat kedatangannya," tutur Hikmahanto.

Dalam hukum AS, lanjut Hikmahanto, ada dua undang-undang yang memungkinan warga negara asing untuk digugat atas tuduhan penyiksaan dan pembunuhan.

Dua undang-undang tersebut adalah Alien Tort Claims Act 1789 dan Torture Victim Protection Act 1992. Berdasarkan Undang-undang ini korban atau keluarga korban yang mengalami penyiksaan dan pembantaian (extrajudicial killing) di luar AS dapat menggugat pelaku saat keberadaanya di AS. Gugatan diajukan untuk memperoleh ganti rugi.

Baca Juga: Kunjungan Prabowo ke AS: Dikiritik Aktivis HAM, Dibela Pentagon

Beberapa kasus terkait hal dimaksud lanjut Hikmahanto Juwana, pernah dialami Sintong Panjaitan (1994) dan Johny Lumintang (2001) saat berada di AS. Mereka mendapat surat panggilan untuk menghadap pengadilan. Merekapun mengambil keputusan untuk segera meninggalkan AS.

Kasus lain terjadi di Australia tahun 2007 ketika Sutiyoso sebagai Gubernur DKI diberikan panggilan oleh polisi untuk menghadap Pengadilan di New South Wales. Panggilan berkaitan dengan kasus kematian lima jurnalis Australia yang dikenal sebagai Balibo 5.

Bahkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat menjadi Presiden di tahun 2010 harus membatalkan kunjungannya ke Belanda. Saat itu kelompok Republik Maluku Selatan (RMS) mengajukan tuntutan ke pengadilan setempat agar SBY menghadap untuk mempertanggungjawabkan masalah HAM di Indonesia.

Pemerintah Indonesia pada saat itu, lanjut Hikmahanto, meminta jaminan kepada pemerintah Belanda agar SBY aman dari tuntutan. Namun pemerintah Belanda tidak bisa memberikan jaminan tersebut sehingga kunjungan pun dibatalkan pada menit-menit terakhir. (Andy Lala)

 

Penulis : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : Kompas TV


TERBARU