> >

7 Obyek Wisata Sejarah di Sekitar Malioboro Ini Bikin Kangen Yogyakarta

Explore indonesia | 18 September 2021, 17:05 WIB
Keraton Yogyakarta. (Sumber: Kurniawan Eka Mulyana)

YOGYAKARTA, KOMPAS.TV – Malioboro merupakan salah satu kawasan yang populer di Yogyakarta. Wisatawan yang datang ke Yogyakarta hampir pasti akan menyempatkan diri untuk berkunjung ke kawasan wisata yang terletak di tengah Kota Yogyakarta tersebut.

Namun, selain kawasan Malioboro yang terkenal dengan pedagang kaki lima dan musisi jalanannya, ada sejumlah tempat bersejarah lain yang tak kalah menariknya untuk dikunjungi. Lokasinya pun tidak terlalu jauh dari kawasan Malioboro.

Berikut tujuh tempat bersejarah di sekitar Malioboro yang bisa bikin kangen, dan sayang jika terlewatkan saat berkunjung ke Yogyakarta:

1. Museum Keraton

Museum Keraton Yogyakarta dirintis pada masa pemerintahan Sri Sultan HB VII dan Sri Sultan HB VIII.

Museum Keraton Yogyakarta yang berarsitektur khas Jawa ini berdiri di atas tanah seluas 14.000 m2, dengan sejumlah benda koleksi, mulai dari senjata seperti keris dan tombak, hingga barang seni dan peralatan rumah tangga seperti wayang, gamelan, naskah kuno, foto dan lukisan.

Koleksi benda-benda pusaka milik Museum Keraton Yogyakarta terbuat dari berbagai macam bahan baku mulai dari perunggu, kayu jati, kertas, kaca besi hingga kulit.

Keraton memiliki beberapa museum yang lebih dikenal dengan Museum Keraton Yogyakarta, yang di dalamnya terdapat museum, lukisan, Keraton, Hamengku Buwono IX dan Museum Kereta.

2. Plengkung Gading

Seorang pengunjung menuruni anak tangga yang ada di Plengkung Gading, Yogyakarta. (Sumber: Kurniawan Eka Mulyana)

Bangunan bersejarah lain yang cukup menarik untuk dikunjungi adalah Plengkung Gading, yang terletak di sebelah selatan Keraton Yogyakarta.

Plengkung Gading berbentuk seperti pintu gerbang yang melengkung atau plengkung. Bangunan ini merupakan salah satu gapura pintu masuk menuju Keraton Jogja.

Plengkung Gading juga dikenal dengan nama Plengkung Nirbaya. Dulunya plengkung ini merupakan pintu keluar jenazah sultan yang sudah wafat menuju Makam Imogiri.

Melansir laman visitingjogja.com, konon katanya sultan yang masih hidup tidak diperbolehkan melewati plengkung di benteng bagian selatan tersebut.

Plengkung Gading merupakan satu dari lima plengkung yang menghubungkan luar benteng dengan Keraton Yogyakarta. Plengkung lain adalah Plengkung Tarunasura, Plengkung Madyasura, Plengkung Jaga Surya dan Jagabaya.

Di antara kelima plengkung, Gading dan Tarunasura merupakan yang paling terkenal. Bentuknya masih terjaga keasliannya hingga kini.

Di kawasan Plengkung Gading terdapat menara sirine yang digunakan untuk memeringati detik-detik proklamasi dan pada saat bulan Ramadan, akan berbunyi menjelang waktu berbuka puasa.

Baca Juga: Jangan Lupa Reservasi Lewat Aplikasi Visiting Jogja sebelum Berwisata ke Yogyakarta

3. Alun-Alun Selatan

SUASANA MALAM ALUN-ALUN SELATAN. Sejumlah pemilik sepeda tandem wisata menunggu pengunjung yang akan menyewa sepeda tandem mereka di kawasan Alun-Alun Selatan Yogyakarta. (Sumber: Kurniawan Eka Mulyana)

Alun-Alun Selatan Yogyakarta terletak di antara Plengkung Gading dan Keraton Yogyakarta. Sejumlah warga sering melakukan aktivitas di tempat ini, mulai dari berolahraga hingga sekadar duduk-duduk di tengah alun-alun.

Di Alun-Alun Selatan yang juga dikenal sebagai Alkid atau Alun-Alun Kidul ini, pengunjung bisa melakukan permainan masangin atau masuk di antara dua beringin kembar di tengah alun-alun.

Cara memainkannya cukup mudah. Pegunjung hanya perlu menutup mata dengan kain penutup lalu berjalan lurus sekitar 20 meter dari Sasono Hinggil menuju ke bagian tengah alun-alun, tepat di tengah dua beringin raksasa.

Meski terlihat mudah, tidak banyak yang berhasil masuk di antara kedua pohon. Kebanyakan justru hanya berputar-putar dan melenceng jauh dari tujuan.

Menurut mitos, hanya orang yang benar-benar berhati bersih dan lurus yang bisa masuk di antara kedua beringin.

Pengunjung juga bisa menyewa sepeda tandem untuk mengelilingi alun-alun sambil menikmati hangatnya matahari senja.

Setelah itu, pengunjung pun dapat menyantap beragam kuliner yang dijajakan di sekitar alun-alun, mulai dari jagung bakar, pisang bakar, wedang ronde, wedang bajigur, dan aneka menu lain.

Baca Juga: 5 Wisata Sungai di Yogyakarta yang Bea Masuk Bayar Seikhlasnya

4. Alun-Alun Utara

SUASANA ALUN-ALUN UTARA. Suasana di kawasan Alun-Alun Utara Yogyakarta. (Sumber: Kurniawan Eka Mulyana)

Alun-Alun Utara yang memiliki luas sekitar 150 meter x 150 meter ini terletak tepat di sebelah utara Keraton Yogyakarta. Hampir sama dengan Alun-Alun Selatan, di sini juga terdapat dua pohon beringin tepat di tengah alun-alun. Kedua pohon beringin tersebut bernama Kyai Wijayandaru dan Kyai Dewandaru.

Dulunya alun-alun digunakan sebagai tempat latihan prajurit.

Di tempat ini pengunjung bisa melakukan beberapa kegiatan, di antaranya adalah berjalan-jalan di sekitar alun-alun dan menikmati sajian kuliner yang ada di sekelilingnya.

Jika berkunjung ke Alun-Alun Utara di saat yang tepat, misalnya saat Maulid Nabi atau pegelaran budaya lainnya, ada sejumlah pertunjukan budaya yang bisa dinikmati secara gratis.

5. Taman Sari

SUMUR GUMULING. Seorang pengunjung berpose di Sumur Gumuling, salah satu bangunan di kawasan Taman Sari Yogyakarta. (Sumber: Kurniawan Eka Mulyana)

Taman Sari merupakan salah satu destinasi wisata di Yogyakarta. Bangunan kuno ini merupakan salah satu bangunan milik Kesultanan Yogyakarta.

Selain sebagai destinasi wisata, pada saat tertentu, Taman Sari masih digunakan sebagai tempat ritual oleh keluarga raja.

Bentuk arsitektur bangunan perpaduan Portugis-Jawa menjadi daya tarik tersendiri, meskipun sebagian bangunan tak lagi utuh.

Di Taman Sari juga terdapat bangunan bernama Sumur Gumuling, yakni bangunan dua lantai berbentuk melingkar yang dulunya merupakan tempat beribadah.

6. Tugu Pal Putih

TUGU YOGYAKARTA. Suasana malam di kawasan Tugu Pal Putih atau yang lebih dikenal dengan Tugu Yogyakarta. (Sumber: Kurniawan Eka Mulyana)

Tugu Pal Putih atau yang lebih dikenal dengan nama Tugu Jogja terletak di tengah perempatan antara Jl Mangkubumi, Jl Jendral Sudirman, Jl AM Sangaji, dan Jl Dipenogoro.

Tugu ini dibangun oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1755. Tugu ini terletak di jalur garis magis yang menghubungkan laut selatan, Kraton Jogja, dan Gunung Merapi.

Pembangunan tugu ini untuk menggambarkan manunggaling kawula gusti, atau persatuan rakyat dan penguasa untuk melawan penjajahan.

Semangat persatuan itu disebut golong gilig, yang tergambar jelas pada bangunan tugu saat itu, tiangnya berbentuk gilig (silinder) dan puncaknya berbentuk golong (bulat). Tugu itu dinamai Tugu Golong-Gilig.

Ketinggian awal bangunan Tugu Golong Gilig ini mencapai 25 meter. Namun, setelah gempa bumi yang melanda Yogyakarta pada 10 Juni 1867, tugu Golong Gilig runtuh.

Pada tahun 1889, pemerintah Belanda merenovasi seluruh bangunan tugu. Bentuknya pun berubah seperti saat ini, yakni persegi dengan tiap sisi dihiasi semacam prasasti yang menunjukkan siapa saja yang terlibat dalam renovasi itu.

Tinggi tugu pun menjadi hanya 15 meter. Sejak saat itulah Tugu Jogja dinamai Tugu Pal Putih.

7. Benteng Vredeburg

BENTENG VREDEBURG. Dua wisatawan sedang memperhatikan benda-benda koleksi di Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta. (Sumber: Kurniawan Eka Mulyana)

Benteng Vredeburg terletak sisi selatan kawasan Malioboro. Benteng ini dibangun pada tahun 1765 oleh Pemerintah Belanda sebagai benteng pertahanan.

Benteng ini beberapa kali mengalami perubahan fungsi, yakni tahun 1760–1830 berfungsi sebagai benteng pertahanan. Selanjutnya, pada tahun 1830–1945, difungsikan sebagai markas militer Belanda dan Jepang. Tahun 1945–1977, difungsikan sebagai Mabes Militer RI.

Saat ini, benteng yang merupakan bangunan cagar budaya tersebut menjadi museum. Di dalamnya terdapat diorama perjuangan bangsa Indonesia sejak sebelum Proklamasi 1945 hingga era Orde Baru.

Selain itu juga terdapat sejumlah benda bersejarah, seperti foto-foto dan lukisan tentang perjuangan.

Sebagian bangunan dan arsitektur di Museum Benteng Vredeburg telah dipugar sesuai bentuk aslinya.

Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : visitingjogja.com


TERBARU