> >

Sejarah Pengumpulan Zakat di Indonesia, dari Snouck Hurgronje sampai Pidato Jokowi

Risalah | 10 Mei 2021, 05:00 WIB
Warga sedang menyerahkan zakat fitrah ke petugas (Sumber: kemenag.DIY)

JAKARTA, KOMPAS.TV- Penasihat pribumi dan Islam pemerintah Hindia Belanda Snouck Hurgronje (1857-1936) mengeritik seorang pejabat kolonial Belanda tentang zakat fitrah. Pejabat bernama Dr.G. Willinck itu menuliskan tentang pajak dengan judul De Islam en het belastingvraagstuk in Indie (Islam dan Masalah Pajak di Hindia). 

Menurut Willinck, pribumi Islam di Hindia Belanda diberi beban bayar pajak terlalu berat. Sebab selain harus membayar pajak, juga ada kewajiban bayar zakat karena perintah agama. Apalagi pajak itu masuk ke kas masjid. Ada anggapan pajak yang masuk ke masjid akan digunakan untuk melawan pemerintah kolonial.

Snouck yang ahli dalam masalah pribumi dan pintar bahasa Arab itu memberi tanggapan dengan nada mengejek tulisan pejabat tersebut. "Karangan itu penuh dengan ketidakbenaran yang nyata, seluruhnya tidak memperhitungkan kombinasi fakta yang mencurigakan dan agak membahayakan, dan kesimpulan yang ditarik tidak dapat dibenarkan," tulisnya dalam Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje IX, yang diterbitkan oleh Indonesian-Nederlands Cooperation in Islamic Studies (INIS) terbitan tahun 1994.

Baca Juga: Untuk DKI Jakarta, Segini Nominal Pembayaran Zakat Fitrah 2021

Menurut Snouck pemerintah kolonial sudah cukup ketat mengawasi soal zakat fitrah. Namun hal itu juga tidak punya banyak arti. Sebab pengumpulan dari zakat tidak seberapa. "ah apakah jumlah itu.." kata Snouck.

Pemerintah kolonial kemudian tidak mau mengurus soal pengumpulan dan pendistribusian zakat pribumi. Ketetapan itu dikeluaran melalui  Bijblad Nomor 1892 tahun 1866 dan Bijblad 6200 tahun 1905 yang isinya melarang petugas keagamaan, pegawai pemerintah dari kepala desa sampai bupati, termasuk priayi pribumi ikut serta dalam pengumpulan zakat. 

Peraturan tersebut mengakibatkan penduduk di beberapa tempat enggan mengeluarkan zakat atau tidak memberikannya kepada pejabat daerah waktu itu, melainkan kepada ahli agama yang mereka percayai, yaitu kyai atau guru mengaji.

Namun seiring perjalanan waktu,  praktek pengelolaan zakat mulai ditata oleh sejumlah organisasi. Salah satunya  Majlis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), pada tahun 1943 yang membentuk Baitul Maal untuk mengorganisasikan pengelolaan zakat secara terkoordinasi. 

Badan ini dikepalai oleh Ketua MIAI  Windoamiseno dengan anggota komite yang berjumlah 5 orang, yaitu Mr. Kasman Singodimedjo, S.M. Kartosuwirjo, Moh. Safei, K. Taufiqurrachman, dan Anwar Tjokroaminoto.

Baca Juga: Jelang Lebaran, MUI Ajak Masyarakat Tunaikan Zakat Melalui Lembaga Resmi

Dalam waktu singkat, Baitul Maal telah berhasil didirikan di 35 kabupaten dari 67 kabupaten yang ada di Jawa pada saat itu. Namun,  kemajuan ini menyebabkan Jepang khawatir akan munculnya gerakan anti-Jepang.

Maka, pada 24 Oktober 1943, Jepang memaksa MIAI untuk membubarkan diri. Praktis sejak saat itu tidak ditemukan lagi lembaga pengelola zakat yang eksis.

Di masa Orde Lam, praktek pengumpulan zakat kembali mendapatkan perhatian. Melalu surat edaran Kementerian Agama pada  Pada 8 desember 1951 tentang pelaksanaan zakat fitrah No. A/VII/17367/ disebutkan  antara lain: Kementerian agama dengan zakat fitrah ini tidak mencampuri dalam soal pemungutan dan/atau pembagiamnya". Pemerintah dalam hal  ini kementerian agama hanya:

a. menggembirakan dan menggiatkan masyarakat untuk menunaikan kewajibannya;
b.Melakukan pengawasan supaya pemakaian dan pembagiannya daru hasil pungtan tadi berlangsung menurut hukum-hukum agama.


Di masa Orde Baru, perhatian pemerintah terhadap pengelolaan zakat mulai membesar. Hal itu terlihat dari diterbitkannya  Peraturan Menteri Agama No. 4 Tahun 1968 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat dan Peraturan Menteri Agama No 5 Tahun 1968 tentang Pembentukan Baitul Maal di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kotamadya. 

Keputusan tersebut dikuatkan oleh pernyataan Presiden Soeharto dalam acara Peringatan Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad Saw di Istana Negara 26 Oktober 1968 tentang kesediaan Presiden untuk mengurus pengumpulan zakat secara besar-besaran.

Namun sejarah mencatat, peraturan tersebut kemudian dianulir lewat  Instruksi Menteri Agama No 1 Tahun 1969, yang menyatakan pelaksanaan Peraturan Menteri Agama No 4 dan No 5 Tahun 1968 (ditunda sampai batas waktu yang tidak ditentukan)

Namun, 11 orang alim ulama di ibukota yang dihadiri antara lain oleh Buya Hamka mengeluarkan rekomendasi perlunya membentuk lembaga zakat ditingkat wilayah yang kemudian direspon dengan pembentukan BAZIS DKI Jakarta melalui keputusan Gubernur Ali Sadikin No. Cb-14/8/18/68 tentang pembentukan Badan Amil Zakat berdasarkan syariat Islam tanggal 5 Desember 1968.8)

Setahun kemudian, barulah  pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 44 tahun 1969 tentang Pembentukan Panitia Penggunaan Uang Zakat yang diketuai Menko Kesra Dr. KH. Idham Chalid. 

Baca Juga: Simak! Cara Bayar Zakat Fitrah 2021 Secara Online

Kepres diperkuat lagi dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No. 29 dan No. 47 Tahun 1991 tentang Pembinaan BAZIS yang diterbitkan oleh Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri setelah melalui Musyawarah Nasional MUI IV tahun 1990.

Langkah tersebut juga diikuti dengan dikeluarkan juga Instruksi Menteri Agama No. 5 Tahun 1991 tentang Pembinaan Teknis BAZIS sebagai aturan pelaksanaannya.

Baru pada tahun 1999 untuk pertama kalinya Indonesia memiliki Undang-undang Pengelolaan Zakat, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999.  Dalam Undang-Undang tersebut diakui adanya dua jenis organisasi pengelola zakat yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk pemerintah dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk oleh masyarakat dan dikukuhkan oleh pemerintah. BAZ terdiri dari BAZNAS pusat, BAZNAS Propinsi, dan BAZNAS kabupaten/kota.

Seiring perkembangan zaman dan antusiasme masyarakat yang tinggi dalam membayar zakat, pada  27 Oktober 2011, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menyetujui Undang-undang pengelolaan zakat pengganti Un-dang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 yang kemudian diundangkan sebagai UU Nomor 23 Tahun 2011 pada tanggal 25 November 2011. 

UU ini menetapkan bahwa pengelolaan zakat bertujuan (1) meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat dan (2) meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan. 

Kini, zakat menjadi agenda kenegaraan. Presiden Jokowi pun meluncurkan "Gerakan Cinta Zakat" di Istana Negara, Jakarta. Gerakan tersebut dinilai dapat mendorong partisipasi masyarakat untuk meningkatkan zakat, infak, dan sedekah.

"Gerakan Cinta Zakat ini sejalan dengan program pemerintah yang memiliki kerja yang sangat besar untuk mengentaskan kemiskinan, menangani musibah dan bencana, serta menuntaskan program-program SDGs," ujar Jokowi dalam sambutannya, Kamis (15/4/2021).

Pembayaran zakat dilakukan melalui Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dengan mematuhi protokol kesehatan pencegahan penularan virus corona (Covid-19). Jokowi juga menyampaikan bahwa zakat dapat dibayarkan secara online saat ini.

"Saya harapkan dana zakat yang dihimpun oleh Baznas ini dapat dipergunakan sebaik-baiknya untuk membantu saudara-saudara kita yang mengalami kesulitan-kesulitan akibat pandemi Covid, dan juga untuk membantu mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh di negara kita," ujar Jokowi.


 

Penulis : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV


TERBARU