> >

Tarif Layanan Kesehatan Naik Tapi Iuran Peserta Tak Naik, Apakah BPJS Kesehatan Sanggup?

Kebijakan | 16 Januari 2023, 13:50 WIB
Ilustrasi layanan BPJS Kesehatan. Pemerintah menaikkan tarif layanan kesehatan di puskesmas, klinik, dan rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. (Sumber: Kompas.tv/Ant)

JAKARTA, KOMPAS.TV- Pemerintah menaikkan tarif layanan kesehatan di puskesmas, klinik, dan rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Dengan begitu, BPJS Kesehatan harus membayar lebih banyak ke pihak-pihak tersebut, atas layanan yang diterima masyarakat.

Di sisi lain, iuran masyarakat yang menjadi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tidak dinaikkan. Kepala Humas BPJS Kesehatan Iqbal Anas Ma'ruf mengatakan, pihaknya mempunyai beberapa sumber pendanaan, selain iuran peserta.

“Sumber utama Dana Jaminan Sosial (DJS) berasal dari iuran peserta Program JKN, selain itu sumber lainnya berasal dari hasil investasi DJS dan alokasi dana pemerintah,” kata Iqbal saat dihubungi Kompas TV, Senin (16/1/2023).

 

Dengan naiknya tarif layanan kesehatan, beban BPJS Kesehatan tentu bertambah. Iqbal menyampaikan realisasi beban jaminan kesehatan hingga akhir 2021 sebesar Rp90,33 triliun. Sedangkan untuk tahun 2022 masih dalam proses penghitungan, karena belum semua klaim fasilitas kesehatan ditagihkan ke BPJS Kesehatan.

Baca Juga: Menkes Naikkan Tarif Layanan Kesehatan di Klinik Sampai RS, Iuran BPJS Kesehatan Naik?

“Untuk tahun 2023, tentu jumlahnya bisa lebih besar lagi. Terlebih ada penyesuaian tarif layanan kesehatan,” ujar Iqbal.

Namun, Iqbal menegaskan keuangan BPJS Kesehatan saat ini dalam kondisi sehat. Sehingga mampu membayar tagihan tarif layanan kesehatan yang naik.

Ia menjelaskan, kondisi kesehatan keuangan aset DJS sampai dengan bulan November 2022 masih memenuhi ketentuan persyaratan dalam PP Nomor 53 Tahun 2018. Yaitu paling sedikit mencukupi estimasi pembayaran klaim untuk 1,5 bulan dan paling banyak untuk 6 bulan ke depan.

Kemudian posisi aset netto saat ini masuk dalam kategori sehat dan diestimasi dapat membayar klaim di masa mendatang sampai dengan tahun 2025.

“Meski demikian, adanya perubahan kebijakan terkait tarif ini tentu berdampak terhadap ketahanan DJS,” ucap Iqbal.

Baca Juga: Siap-siap Beli Elpiji 3Kg Pakai KTP, Kini Hanya Dijual di Penyalur Resmi dan Warung Khusus

Iqbal menegaskan dengan kondisi finansial DJS yang membaik, tidak ada lagi istilah gagal bayar rumah sakit. Bahkan sejak 1 November 2021, BPJS Kesehatan meluncurkan terobosan Uang Muka Pelayanan Kesehatan.

Uang Muka Pelayanan Kesehatan ini dihitung dan diberikan berdasarkan capaian indikator kepatuhan rumah sakit. Nantinya, BPJS Kesehatan akan mengeluarkan dana dalam persentase tertentu yang diberikan kepada rumah sakit atas klaim yang diajukan namun masih dalam proses verifikasi.

Upaya ini bertujuan untuk menunjang kegiatan operasional rumah sakit

“Dengan begitu, kami bisa membayar sebagian biaya klaim sebelum diverifikasi. Besarnya tergantung kepada kinerja rumah sakit,” tutur Iqbal.

“Semakin unggul performa rumah sakit, semakin besar uang muka yang bisa diajukan, bahkan bisa mencapai 60 persen dari tagihan klaim. Ini belum pernah terjadi dalam sejarah BPJS Kesehatan sebelumnya,” sambungnya.

Baca Juga: Jemaah Haji dan Umrah Khusus Wajib Daftar BPJS Kesehatan, Hidayat Nur Wahid: Memberatkan Jemaah

Sebelumnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikit sempat mengatakan, jika iuran peserta BPJS Kesehatan tidak akan naik sampai 2024. Lantaran akan menimbulkan gejolak di masyarakat, apalagi jelang tahun politik.

Terkait hal itu, BPJS Kesehatan siap menjalankan segala keputusan yang ditetapkan pemerintah, termasuk mengenai iuran peserta JKN ini.

Tapi di sisi lain, BPJS Kesehatan berharap pemerintah bisa melakukan evaluasi keseimbangan antara besaran tarif biaya layanan kesehatan dan besaran iuran saat ini secara menyeluruh, agar sustainabilitas Program JKN tetap terjaga.

Hal ini sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 yang menyebutkan bahwa iuran program jaminan kesehatan sosial disesuaikan paling lama dua tahun sekali.

“Tentu dengan mempertimbangkan kemampuan masyarakat membayar iuran, biaya kebutuhan jaminan kesehatan, dan inflasi di bidang kesehatan,” tandasnya.

 

Penulis : Dina Karina Editor : Iman-Firdaus

Sumber :


TERBARU