> >

Kereta Cepat Dibangun Pakai Utang China Rp65 Triliun, Siapa yang Bayar?

Ekonomi dan bisnis | 7 Desember 2021, 09:16 WIB
Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung dibangun dengan dana dari konsorsium BUMN Indonesia dan BUMN China, serta utang dari China Development Bank (CDB) sebesar hampir Rp65 triliun. Namun utang tersebut akan menjadi tanggung jawab PT KCIC, perusahaan patungan BUMN RI dan China. Bukan menjadi tanggung jawab pemerintah Indonesia (7/12/2021). (Sumber: PT KCIC)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Keputusan pemerintah membantu permodalan proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) menuai kritik dari masyarakat luas. Lantaran sebelumnya pemerintah berjanji proyek tersebut tidak akan menggunakan uang negara. Serta manfaat KCJB yang disebut banyak pihak tidak sebanding dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan.

Proyek KCJB yang membutuhkan dana Rp113 triliun, dikerjakan oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) yang merupakan perusahaan patungan konsorsium BUMN Indonesia dengan konsorsium BUMN China.

Konsorsium BUMN Indonesia bernama PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), terdiri dari PT Wijaya Karya Tbk. dengan kepemilikan saham 38 persen, PT KAI dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII dengan kepemilikan saham masing-masing 25 persen, dan PT Jasa Marga Tbk dengan kepemilikan saham 12 persen.

Konsorsium PSBI memiliki saham sebesar 60 persen di KCIC. Sedangkan sisanya 40 persen dimiliki oleh konsorsium BUMN China yaitu Beijing Yawan HSR Co.Ltd.

Baca Juga: Lagi Butuh Dana Tambahan? Ini Daftar Barang yang Bisa Digadaikan

Pada Kamis (4/11) lalu, Direktur Utama PT KCIC Dwiyana Slamet Riyadi menyampaikan struktur pembiayaan KCJB adalah,  75 persen dari nilai proyek dibiayai oleh CDB dan 25 persen dibiayai dari ekuitas atau dana yang dimiliki konsorsium. 

Dari 25 persen ekuitas tersebut, sebesar 60 persen berasal dari konsorsium PSBI karena menjadi pemegang saham mayoritas. Sehingga pendanaan dari konsorsium Indonesia ini sekitar 15 persen dari proyek, sedangkan sisanya sebesar 85 persen dibiayai dari ekuitas dan pinjaman pihak China, tanpa jaminan dari Pemerintah Indonesia.

Dalam perjalanannya, biaya pembangunan proyek tersebut ternyata membengkak 1,9 miliar dollar AS atau Rp27 triliun rupiah (asumsi kurs Rp14.300). Sehingga, dana yang diperlukan meningkat, dari 6,07 miliar dollar AS  atau Rp85 triliun, menjadi 7,97 miliar dollar AS atau Rp113 triliun.

Dari total kebutuhan Rp113 triliun, pinjaman CBD diperkirakan mencapai 4,55 miliar dolar AS atau setara Rp 64,9 triliun. Kemudian base equity capital atau kewajiban modal dasar dari konsorsium Indonesia sebesar Rp4,3 triliun. Sedangkan jumlah kewajiban dasar dari konsorsium China belum ada informasi resminya.

Baca Juga: Erick Thohir Angkat Darmawan Prasodjo Jadi Dirut Baru PLN

Penulis : Dina Karina Editor : Desy-Afrianti

Sumber :


TERBARU