Kompas TV advertorial

Transparansi Penegakan Hukum di Indonesia

Kompas.tv - 5 September 2022, 18:33 WIB
transparansi-penegakan-hukum-di-indonesia
Tangkapan layar Sapa Indonesia Pagi yang menghadirkan Dr. Devie Rahmawati dan Asep Iwan Iriawan (tengah) pada Jumat (2/09/2022) (Sumber: Dok. Kompas TV)
Penulis : Adv Team

KOMPAS.TV – Demi meningkatkan kepercayaan publik, penegak hukum di Indonesia terus berkomitmen memberikan keterbukaan dan transparansi informasi kepada masyarakat. Salah satu upaya yang dilakukan para penegak hukum ini yakni melalui keterbukaan informasi.

Saat ini, sejumlah sumber informasi terkait penegakan hukum bisa didapatkan oleh masyarakat. Hal tersebut dilakukan sebagai komitmen untuk menjawab keraguan publik terkait pertanyaan tentang transparansi dan keterbukaan informasi.

Namun, apakah upaya ini sudah cukup sehingga masyarakat bisa mengerti aturan hukum Indonesia dengan baik dan benar? Seperti apa cara mengedukasi masyarakat Indonesia agar bisa memahami aturan hukum?

Timothy Marbun dalam Sapa Indonesia Pagi edisi 2 September 2022 menghadirkan dua narasumber untuk berdiskusi terkait transparansi aparat hukum di Indonesia.

Narasumber yang bergabung secara daring yaitu Pakar Hukum Pidana sekaligus mantan hakim Asep Iwan Iriawan dan pakar komunikasi Universitas Indonesia Dr. Devie Rahmawati.

Baca Juga: Survei Litbang Kompas: Mayoritas Responden Nilai Kasus Brigadir J Belum Transparan

Menurut Timothy, sudah semestinya hukum atau paling tidak penegakan hukum harus transparan karena rawan disalahgunakan. Karena itu, Timothy bertanya kepada dua pakar tersebut terkait kelemahan serta apa saja yang bisa ditingkatkan terkait upaya transparansi penegakan hukum Indonesia.

Asep menjelaskan, menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia berarti membuat perjanjian tertulis, yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Pada UUD pasal 24 tercantum kewajiban menegakkan hukum dan keadilan.

Dengan kata lain, hukum perlu ditegakkan terlebih dahulu untuk menemukan keadilan. Karena itu, diperlukan para penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim, hingga pengacara.

Ketika hukum ditegakkan, diperlukan sejumlah aturan seperti hukum acara dan azas transparansi atau keterbukaan. Namun, ada hal-hal tertentu itu harus ditutup, misalkan kesusilaan, perceraian, anak.

“Biar bagaimanapun, hukum itu harus beradab, bukan biadab,” pesan Asep. Asep menjelaskan, penegak hukum di negara ini harus menggunakan hukum acara. Di sisi lain, porsi keadilan bisa saja berbeda dari tiap pihak sehingga diperlukan pendampingan.

Seorang hakim, dengan prinsip demi keadilan berdasarkan ketuhanan, menjadi pihak yang berhak memutuskan adil atau tidaknya suatu perkara. Jadi, bila ada perbedaan pendapat, ada baiknya menunggu di pengadilan karena semuanya akan dibuka. Artinya, penegakan hukum dan pengadilan akan menjadi jalan tengah bila terjadi perbedaan pendapat terkait keadilan.

Timothy kemudian membuka topik terkait kejadian yang belakangan ini menyita perhatian publik, yaitu kasus tewasnya Brigadir J. Kasus tersebut memunculkan banyak opini termasuk mengenai penegak hukum itu sendiri. Posisi penegak hukum tentunya melemah di mata masyarakat sehingga perlu dilakukan sesuatu.

Baca Juga: Polisi Penghambat Pengusutan Kasus Pembunuhan Yosua, Polri: Tersangka Punya Hak Hindari Sangkaan

Dr. Devie menjabarkan beberapa poin menarik dalam studi studi komunikasi terkait upaya menegakkan hukum dan mencari keadilan di Indonesia. Berdasarkan data yang dimulai tahun 90-an sampai terakhir 2016 menunjukkan aparat Indonesia sudah sangat terbuka bila dibandingkan dengan aparat di luar negeri.

Namun, yang berbahaya adalah ketika masyarakat kemudian merespon keterbukaan itu dengan merasa memiliki hak untuk bisa menjadi hakim bagi keputusan yang akan ditetapkan penegak hukum

Dalam banyak kasus, tantangan ketika aparat yang sudah sangat terbuka adalah lebih rentan dipengaruhi opini masyarakat yang menyaksikan keterbukaan tersebut. Kemampuan penegak hukum agar bisa secara objektif melihat bukti-bukti yang ada dalam memutuskan hal yang tepat.

Sejumlah penelitian juga menemukan, ketika seseorang yang bertugas menegakkan keadilan banyak menerima informasi dari publik yang biasanya tidak berdasar atau berbasis hal-hal negatif berisiko membuat keputusan akhirnya menjauh dari bukti-bukti yang ada.

Hal ini tentunya cukup menakutkan di era media sosial karena akhirnya pengadilan yang sesungguhnya belum terjadi, tetapi pengadilan media sosial jauh lebih keras.

Risikonya, banyak orang yang sebenarnya harusnya mendapatkan keadilan dari putusan hakim berpotensi tidak mendapatkannya secara utuh.

Menurut dr. Devie, meluasnya kasus ini seharusnya dapat menjadi momentum untuk mengedukasi masyarakat tentang literasi hukum. Di luar negeri, biasanya diadakan tes untuk penegak hukum. Bila ditemukan indikasi sudah terpengaruh opini publik, orang tersebut bisa dikeluarkan dari ruang pengadilan.

Asep menjelaskan kebijakan seperti itu sulit diterapkan di Indonesia karena diperlukan sosok jury dari tiap kelompok yang akan menentukan keputusan. Sistem hukum di Indonesia mengharuskan hakim hanya mendengarkan fakta persidangan, tidak boleh mendengar fakta-fakta di luar persidangan, termasuk tekanan dan opini publik.

Dengan kata lain, hakim, penyidik, dan penuntut harus sama-sama independen. Namun, kebebasan tersebut tentu saja tetap ada batasnya di mata hukum. Kemajuan teknologi sering kali menimbulkan keributan di sisi masyarakat yang seolah merasa melebihi hakim. Di sisi lain, penegak hukum pun tidak sepenuhnya benar sehingga bila terjadi kesalahan tetap bisa dipidanakan.

Baca Juga: Inilah Sederet Anggota Polri yang Terseret Kasus Pembunuhan Brigadir J, Ada Peraih Adhi Makayasa...

Asep menjelaskan terdapat dua kunci penegakan hukum, yaitu politik hukum dan kesadaran hukum masyarakat. Pada kasus ini, Polri sudah melakukan transparansi dengan adanya keterbukaan kasus Brigadir J.

Karena itu, diperlukan kesadaran hukum masyarakat sesuai aturan yang berlaku. Seharusnya, perbedaan pendapat yang bergulir di masyarakat bukan menjadi ajang perdebatan di media. Para penegak hukum sewajarnya menampung dan mewakili masyarakat tanpa menghilangkan hak azasi pihak manapun.

Sayangnya, opini publik yang beredar tidak bisa dikontrol terutama di era kebebasan berpendapat termasuk di media sosial. Bahkan, seseorang bisa menyembunyikan identitasnya sehingga bisa mengatakan apapun.

Salah satu akibat fenomena ini adalah keberadaan cancel culture yang justru berdampak pada penegak hukum dan merusak masyarakat. Untuk mengatasi hal ini, Devie berpendapat bahwa media memegang peranan penting yang seharusnya tidak boleh dipengaruhi opini publik.

Sementara itu, untuk bisa mereformasi hukum Indonesia ke arah yang lebih baik diperlukan peran semua pihak, baik lembaga hukum maupun masyarakat. Penegak hukum dan publik tidak bisa seenaknya melakukan sesuatu yang di luar kewenangan dan batasan.

Pemahaman dan pendidikan hukum masyarakat Indonesia tidak bisa dipungkiri masih kurang. Karena itu, pemerintah perlu lebih meningkatkan literasi hukum agar masyarakat bisa menilai dan membuktikan sesuai fakta.

Menurut Devie, perlu dicontohkan agar tidak ada orang yang sembarangan memvonis lewat kata-kata dan agar semua pihak lebih berhati-hati. Secara institusi memang disadari memerlukan perbaikan, tetapi sudah mulai terlihat upayanya.

Asep menambahkan, hukum berbicara yuridis, sedangkan pribadi menyangkut etis. Karena itu, sebesar apapun keingintahuan publik terhadap hal-hal tertentu, seperti kesusilaan, hukum sudah mengatur agar penyelesaiannya tertutup. Indonesia sebagai negara hukum harus menghormati proses hukum.

Terkait kasus Brigadir J yang merupakan perkara pembunuhan, hukum mengambil peran bisa dari pasal 338 atau 340. Menurut Asep, latar belakang atau motif pembunuhan seharusnya tidak dibumbui macam-macam terlebih oleh publik.

Dalam persidangan, poin-poin yang dibahas hanya benar-benar berhubungan dengan pembuktian kasus dengan kacamata hukum. Saat ini pihak penegak hukum juga dinilai cukup transparan dengan membukanya ke publik. Selebihnya, hal tersebut perlu dibuktikan dan dipertanggungjawabkan di bidangnya masing-masing.

Publik tentunya berhak untuk mengikuti, mengawal, dan mengawasi kasus ini. Menurut Devie, tipikal masyarakat Indonesia dapat diibaratkan sebuah kereta dengan lokomotif dan gerbongnya.

Baca Juga: Dugaan Pelecehan Seksual Putri Candrawathi Disebut Tak Masuk Akal, Ini Sederet Alasannya

Jadi, ketika hal yang disampaikan oleh para elit yang diibaratkan lokomotif berdasarkan kebenaran, maka gerbongnya akan mengikuti. Sayangnya para lokomotif berlomba-lomba menyampaikan opini yang tidak berbasis sehingga tidak heran bila ‘gerbong’-nya berlaku serupa.

Akibatnya, masyarakat didominasi pihak yang tidak mengenyam pendidikan hukum akan selalu merasa transparansi yang diberikan tidak cukup. Padahal, para pakar berdasarkan studi di luar negeri menyatakan keterbukaan ini sudah maksimal.

Lemahnya pengetahuan masyarakat ditambah sejumlah pihak yang melakukan provokasi akan membuat masyarakat tidak pernah merasa puas. Salah satu jalan pintasnya adalah para elit yang paling pertama mematuhi hukum dengan segala konsekuensinya. Dengan begitu, masyarakat akan lebih mudah mengikutinya.

Salah satu pertanyaan terkait yaitu tersangka kasus pembunuhan Yosua Ibu PC belum ditahan. Menurut penjelasan hukum, penahanan hanya dapat dilakukan bila memenuhi beberapa ketentuan. Misalnya, diancam dengan ancaman 5 tahun, takut melarikan diri, atau menghilangkan barang bukti.

Kewenangan menahan tersangka diberikan kepada penyidik, penuntut, maupun hakim. Jika penyidik dianggap tidak benar, bisa ditagih penuntut umum. Hukum acara sudah semestinya sesuai prosedur sehingga aturan dan kewenangannya tetap perlu dihormati.




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x