Kompas TV religi beranda islami

Hukum Makruh Saat Bertemu Hajat

Kompas.tv - 17 Desember 2020, 21:24 WIB
hukum-makruh-saat-bertemu-hajat
Pada suatu kondisi yang darurat suatu hal yang memiliki hukum makruh bisa menjadi hilang karena ada hajat (Foto Ilustrasi: cottonbro, pexels)
Penulis : Agung Pribadi

Para ahli fiqih memaknai makruh sebagai larangan terhadap suatu perbuatan tanpa adanya keharusan (ilzam) untuk ditinggalkan.

Bilamana seseorang meninggalkan perkara makruh dalam maksud mentaati perintah Allah Subhanahu wa ta'ala, maka ia mendapatkan pahala dan bagi orang yang mengerjakannya tidak mendapatkan dosa.

Sedangkan hajat adalah sebuah keadaan dimana seseorang  harus melakukan sesuatu. Dan jikalau tak ia lakukan ia dapat terjatuh dalam kesulitan dan kesempitan, walau tidak sampai pada taraf membahayakan kemaslahatannya yang utama.

Sehingga tingkatan hajat ini ada dibawah kondisi darurat, dalam beberapa keadaan mendapat hukum darurat bahkan dapat menggugurkan hukum keharaman.   

“Suatu yang makruh menjadi hilang karena ada hajat.”

Melansir penjelasan dari Rumaysho bahwa seperti halnya seorang yang shalat dimakruhkan untuk memakai masker atau secara umum menutup mulutnya. Hal ini berdasarkan hadits yang bersumber dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu :

"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang menutup mulutnya ketika shalat.”

(HR. Abu Daud, no. 643 dan Ibnu Majah, no. 966. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dhaif. Syaikh Al-Albani menilai hadits ini hasan).

Oleh karena itu, hukum asal untuk para muslimah, hendaklah tidak menggunakan cadar saat shalat. Menurut kesepakatan para ulama, dilarang menutup wajah saat shalat.

Maka dari itu, menutup mulut dan hidung atau hanya mulut saja saat shalat, hukumnya adalah makruh.

Suatu yang makruh menjadi boleh ketika ada hajat seperti saat batuk, pilek, takut menularkan ataukah takut tertular berdasarkan kaedah,

Kesimpulannya, memakai masker saat shalat berjamaah di masa pandemi covid-19 dibolehkan karena ada hajat (kebutuhan).

Contoh lainnya adalah mencicipi makanan saat berpuasa itu makruh. Namun dibolehkan ketika dibutuhkan.

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,

“Tidak mengapa seseorang yang sedang berpuasa mencicipi cuka atau sesuatu, selama tidak masuk sampai ke kerongkongan.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf no. 9277. Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ no. 937 mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Mencicipi makanan terlarang bagi orang yang tidak memiliki hajat, tetapi hal ini tidak membatalkan puasanya. Adapun untuk orang yang memiliki hajat, maka hukumnya seperti berkumur-kumur.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 25:266-267).

Disamping itu apabila seseorang sedang melaksanakan shalat sunnah, kemudian ia mendengar seseorang memanggilnya, tapi ia belum tahu pasti orang yang memanggil itu; Apakah ayahnya, ibunya, atau orang lain? Lalu ia menoleh untuk meyakinkan diri maka itu diperbolehkan.

Karena dalam kondisi tersebut apabila yang memanggil adalah ayahnya atau ibunya, maka wajib baginya untuk memenuhi panggilan.

Yaitu jika ia tidak mengetahui apakah orang tuanya ridha atau tidak jika ia tidak memenuhi panggilannya. (Syarh Manzhûmah Ushûl al-Fiqh wa Qawâ’idihi, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, hlm. 63)

 

Wallahu a’lam bish-shawab



Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x