Kompas TV regional budaya

Para Lansia Penenun Wastra, Penjaga Warisan Budaya

Kompas.tv - 11 Maret 2023, 09:27 WIB
para-lansia-penenun-wastra-penjaga-warisan-budaya
Seorang pria perajin tenun lurik sedang melakukan proses pembuatan pola atau sekir, di kawasan Krapyak Wetan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, Selasa (7/3/2023). (Sumber: Kompas.TV/Kurniawan Eka Mulyana)
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana | Editor : Edy A. Putra

YOGYAKARTA, KOMPAS.TV – Minat generasi muda untuk bekerja sebagai perajin tenun, baik tenun kain maupun serat alam, semakin menurun. Kini penjaga warisan budaya tenun didominasi oleh para lansia.

Suara balok kayu yang beradu terdengar dari sebuah ruangan cukup besar di kawasan Krapyak Wetan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (7/3/2023).

Di ruangan lain, dua perempuan paruh baya memutar alat pintal tradisional yang masing-masing terbuat dari velg sepeda.

Keduanya seperti tak terganggu dengan suara kayu beradu yang berasal dari belasan alat tenun bukan mesin di ruangan sebelahnya.

Di ruangan yang sama dengan para pemintal, dua pria tampak serius menjaga alat lain yang berfungsi sebagai pembuat motif atau sekir.

Salah satu dari mereka merupakan orang lanjut usia (lansia) dengan rambut yang hampir seluruhnya telah memutih.

Perlahan, ia memutar tuas yang terhubung dengan alat sekir. Benang-benang beraneka warna yang menjuntai dari rol ke alat sekir sesekali tampak menegang saat pria tua itu memutar tuasnya.

Di dalam ruang tenun, belasan pria dan wanita perajin yang didominasi oleh lansia, terlihat lincah menenun, menggerakkan kaki dan tangan mereka.

Seorang wanita paruh baya sedang memintal benang sebelum kemudian diproses menjadi tenun lurik di kawasan Krapyak Wetan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, Selasa (7/2/2023). (Sumber: Kompas.TV/Kurniawan Eka Mulyana)

Menurut Afrian Irfani (30) selaku pengelola Tenun Lurik Kurnia, nama usaha kerajinan tenun tersebut, usaha tenun lurik yang digelutinya tersebut sudah ada sejak tahun 1962.

Awalnya almarhum sang nenek yang membuka usaha tenun lurik, dan terus bertahan hingga kini.

“Jadi, sebelum tahun 1962 itu simbah (nenek) menenun di salah satu perusahaan lain, terus keluar dan mendirikan Kurnia Lurik ini,” tuturnya saat ditemui, Selasa (7/3/2023).

Meski telah puluhan tahun berdiri, Tenun Lurik Kurnia tetap mempertahankan penggunaan alat tenun bukan mesin (ATBM) untuk memproduksi kerajinan tenun lurik.

Ada sejumlah alasan mengapa Tenun Lurik Kurnia tetap bertahan menggunakan ATBM. Pertama, kualitas lurik yang dihasilkan lebih halus.

Selain itu, karena sejak awal sang nenek yang merintis usaha itu menggunakan ATBM.

“Selain hasilnya lebih halus juga ciri khasnya Kurnia Lurik kan ATBM-nya, dari simbah dulu kan mulainya pakai ATBM, jadi kita pertahankan pakai ATBM.”

Bukan hanya mempertahankan ciri khas berupa motif dan alat tenun, 90 persen karyawan atau perajin yang bekerja di tempat itu merupakan orang-orang yang bekerja pada sang nenek.

Kata Afrian, salah satu alasan tetap mempekerjakan para lansia karena minat generasi muda untuk menjadi penenun sangat rendah.

Padahal, pihaknya pernah memberikan pelatihan menenun untuk generasi muda, namun sebagian besar mereka hanya mengikuti pelatihan dan bertahan dalam waktu yang singkat.

“Sebenarnya karyawan di belakang itu 90 persen dari zaman simbah dulu. Karena apa lansia? Karena nggak ada anak muda yang mau menenun, itu aja sih.”

“Bukan karena kita memberdayakan orang sepuh (lansia), karena nggak ada anak muda yang menenun,” tuturya.

Seorang perajin sedang menenun kain lurik dengan alat tenun bukan mesin di kawasan Krapyak, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, Selasa (7/3/2023). (Sumber: Kompas.TV/Kurniawan Eka Mulyana)

Masalah regenerasi perajin tenun lurik, menurut Afrian, hampir sama dengan yang terjadi pada para petani dan pembatik.

Proses Produksi

Proses pembuatan selembar kain tenun lurik selebar 70 sentimeter dari benang sepanjang 100 meter, memakan waktu yang cukup panjang, dan bisa mencapai tiga pekan hingga sebulan.

Hal itu sebetulnya tidak mengherankan, karena ada sejumlah tahapan yang harus dilakukan, mulai dari pewarnaan benang, penjemuran, kemudian dilanjutkan dengan pemintalan, pembuatan motif atau sekir, dan terakhir baru masuk ke proses menenun.

Meski proses pembuatannya memakan waktu yang cukup lama, pihaknya mematok harga yang sangat terjangkau, mulai dari Rp38.500 hingga Rp60 ribu per lembar, tergantung motif dan ukuran.

Selain menyediakan kain tenun lurik dalam bentuk lembaran, pihaknya juga menjual pakaian berbahan tenun lurik, mulai dari surjan, kemeja, kebaya, hingga outer.

“Kalau baju jadi, harganya start dari Rp200 ribuan. Itu jadinya ada surjan, kemeja, kebaya, outer juga ada.”

Selain menjual kain tenun lurik secara offline atau luar jaringan (luring) di lokasi itu, pihaknya juga memasarkan secara online atau dalam jaringan (daring) melalui website dan media sosial Instagram.

“Kalau offline kita cuma di sini, tapi kalau online kita sampai ke mana-mana sih, karena kita ada instagram sama website juga. Pengiriman pernah sampai NTT dan Papua.”

Biasanya, penjualan kain tenun lurik tersebut akan meningkat seusai Lebaran Idulfitri, saat banyak wisatawan atau warga Yogyakarta yang mudik.

Tapi, menjelang bulan suci Ramadan seperti saat ini, penjualan biasanya cenderung menurun.

Tenun Serat Alam

Minimnya rminat generasi muda untuk bekerja sebagai penenun bukan hanya disampaikan oleh Afrian. Seorang perajin tenun serat alam di Desa Wisata Gamplong, Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman, menyampaikan hal yang sama.

Siang itu, Rabu (8/3/2023), beberapa perempuan paruh baya duduk di depan alat tenun bukan mesin. Sambil sesekali bercengkerama dengan rekan, tangan mereka terampil menyusun batang demi batang eceng gondok untuk ditenun.



Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA


Advertorial

Madiun Maju Mendunia | VVIP

27 April 2024, 15:37 WIB

Close Ads x