Kompas TV regional gaya hidup

Buku dan Nisan Kuno Temani Siang Sunyi Para Pemuda Penjelajah Kuburan

Kompas.tv - 19 Februari 2022, 06:58 WIB
buku-dan-nisan-kuno-temani-siang-sunyi-para-pemuda-penjelajah-kuburan
Ruri Hargiyono (kanan) menjelaskan tentang bentuk nisan lawas pada seorang rekannya di Kompleks Makam Gambiran, Yogyakarta, Jumat (18/2/2022). (Sumber: Kompas TV/Kurniawan Eka Mulyana)
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana | Editor : Edy A. Putra

YOGYAKARTA, KOMPAS.TV – Seorang perempuan terlihat memperhatikan tulisan-tulisan pada buku yang dipegangnya. Dia berdiri tepat di depan makam Kyai Ki Juru Kiting.

Siang itu, Jumat (18/2/2022), kompleks makam Gambiran, Yogyakarta, terlihat sunyi. Hanya ada beberapa pemuda, termasuk perempuan berusia 42 tahun tersebut di area makam.

Ratusan batu nisan berderet tak teratur dan beberapa pohon besar dengan batang berotot menemani aktivitas mereka.

Beberapa makam di tempat itu merupakan makam lawas yang usianya mencapai ratusan tahun, termasuk makam Kyai Ki Juru Kiting yang terletak di ujung belakang kompleks pemakaman.

Kyai Juru Kiting merupakan panglima perang Kerajaan Mataram di era kepemimpinan Sultan Agung.

Ruri Hargiyono, nama perempuan itu. Dia dan beberapa rekannya yang tergabung dalam komunitas Indonesia Graveyard terlihat menikmati aktivitas mereka di antara bebatuan nisan.

Setelah membaca keterangan dalam buku yang dibawanya, mereka terlihat memotret beberapa nisan menggunakan kamera ponsel.

Keheningan sedikit terpecah saat mereka berbicara. Suaranya lamat-lamat terbawa angin siang itu. Kemudian, mereka kembali melangkah melewati sejumlah nisan.

Ruri membentuk komunitas Indonesia Graveyard bersama seorang rekannya bernama Deni pada tahun 2017 di Jakarta. Mereka blusukan bareng ke sejumlah kompleks pemakaman.

Ruri Hargiyono membaca buku yang menceritakan tentang sosok Kyai Ki Juru Kiting, panglima perang Kerajaan Mataram era Sultan Agung. (Sumber: Kompas TV/Kurniawan Eka Mulyana)

Namun, blusukan bersama Deni hanya bertahan selama kurang lebih 2,5 tahun. Karena Deni kemudian meninggal karena sakit.

“Hari ini tepat seribu harinya Deni,” kata Ruri mengenang.

Beberapa waktu kemudian, Ruri memutuskan untuk kembali ke kota asalnya, Yogyakarta.

Saling Kenal Melalui Instagram

Di Jogja, keinginannya untuk blusukan dan menyusuri kompleks pemakaman tak surut. Dia lalu meneruskan hobi anehnya tersebut bersama sejumlah pemuda yang memiliki minat yang sama.

Ruri dan para pemuda itu saling kenal melalui akun Instagram @Indonesia_graveyard.

“Kalau yang di Jogja ini awalnya kenal dari Instagram. Adnan mention kan, karena dia tinggal di Jogja, akhirnya kita blusukan bareng,” kata Ruri.

Kala itu, beberapa pengikut atau followers lain juga mengirimkan pesan melalui DM, dan meminta untuk blusukan bareng.

Akhirnya, kegiatan busukan itu berlanjut hingga kini, namun dengan jumlah personel yang tidak bertambah. Sebab, menurut Ruri, mereka blusukan untuk menambah pengetahuan sejarah.

Biasanya mereka mencocokkan antara apa yang ada di dalam buku atau yang diperoleh dari internet, dengan penjelasan juru kunci makam.

Bukan hanya mengunjungi makam-makam lawas tokoh terkenal, Ruri dan kawan-kawannya juga membersihkan makam yang terlihat tak terawat.

“Blusukan antara dua minggu sampai sebulan sekali, bersih-bersih makam juga paling sebulan sekali. Webinar juga paling sebulan sekali.”

Ruri berharap ke depannya orang-orang mau mengubah pemikiran mereka tentang kuburan, yang selama ini terkesan horor dan seram.

Meskipun, ia sendiri mengaku hanya berani blusukan ke kuburan saat siang hingga sore hari karena takut hantu.

“Aku sih pengennya orang berubah pemikirannya, bahwa kuburan itu nggak selamanya horor.”

Bukan cuma mempelajari sejarah, menurutnya, bentuk nisan kuburan pun bisa menjadi bahan kajian tentang gender, terutama pada nisan-nisan lawas.

“Bentuk nisan perempuan dan laki-laki itu berbeda. Nek lanang ngene, nek ulama ngene, nek raja ki ngene (kalau pria begini, kalau ulama begini, raja begini), jadi sudah bisa diperkirakan,” tuturnya.

Ruri dan dua rekannya kemudian berpindah lokasi ke salah satu bangunan di sekitar kompleks makam.

Di situ ketiganya terlihat berdiskusi. Seorang rekan Ruri tampak menulis sesuatu di secarik kertas. Sementara, yang lain memperhatikan.

Tiga anggota komunitas Indonesia Graveyard berdiskusi di salah satu bangunan di area Kompleks Makam Gambiran, Yogyakarta, Jumat (18/2/2022). (Sumber: Kompas TV/Kurniawan Eka Mulyana)

Emir Haidar, pemuda yang tengah menulis tersebut, merupakan yang termuda dari anggota komunitas penjelajah kuburan itu. Usianya masih 25 tahun.

Alumnus Teknik Arsitektur Universitas Gadjah mada (UGM) itu mengaku sejak kecil suka menjelajahi kuburan.

Awalnya, kata Emir, dia sering membaca buku dan majalah berbau horor.

“Aku itu sejak kecil seneng blusukan ke kuburan, entah kenapa. Dulu kan senang baca majalah dan yang horor-horor,” jelasnya.

Tapi, beberapa tahun kemudian, orang tuanya melarang Emir untuk blusukan di kawasan kuburan. Sebab, dia terkena semacam gangguan makhluk tak kasat mata.

“Terus beberapa tahun kemudian aku kena sawan, jadinya nggak boleh sama orang tua ke kuburan. Baru sekarang ini mulai blusukan lagi ke kuburan.”

“Dulu yang menarik itu mistisnya, misalnya golek setan, padahal nggak ada sih,” kenangnya.

Saat beranjak remaja dan meningkat dewasa, minatnya menjelajah kuburan tidak berkurang dan tetap ada.

Namun, tujuannya mulai bergeser. Dia bukan lagi mencari setan.

“Pas agak gedean dikit, lebih ke arah sejarahnya. Terus setelah aku mlebu (masuk) (Teknik) Arsitektur iki, lebih ke tata lanskapnya, bangunannya.”

Perbedaan Bentuk Nisan dan Makam

Emir menceritakan, ada sejumlah perbedaan pada makam dan nisan. Pada makam keluarga keraton misalnya, penyusunannya lebih rapi daripada pemakaman umum.

“Makam keraton itu lebih tertata rapi. Jadinya untuk pemakaman selanjutnya masih ada lanskapnya. Sedangkan kalau pemakaman kampung, tersebar,” tuturnya.

Biasanya, jika ada makam keluarga keraton di pemakaman umum, lokasinya akan terpisah dari makam-makam lain.

Secara umum, bentuk nisan antara makam keraton dan makam non-keraton tidak terlalu banyak. Hanya saja, untuk makam keluarga keraton ada ciri khas tertentu, misalnya ada bentuk tumpal.

“Bentuk nisan di Jogja pada umumnya sebetulnya sama, seperti Surakarta juga pada umumnya. Meneruskan nisan-nisan Mataram era Sultan Agung,” dia menjelaskan.

Bentuk nisan yang agak berbeda ditemukan di kawasan Kulon Progo. Di sana bentuk nisannya mendapat pengaruh dari wilayah Purworejo, Jawa Tengah.

“Kalau di sana ada bentuk wajikan dan bulat. Kalau wajikan itu untuk laki-laki, kalau bulat untuk perempuan.”

Bentuk fisik nisan tua yang berusia ratusan tahun pun, menurutnya, berbeda dengan bentuk fisik nisan baru.

Batu nisan di kawasan Yogyakarta yang dibuat pada zaman dahulu biasanya tidak permanen, dan tersusun dari sejumlah batu.

“Nisan jaman dulu itu nggak permanen, dan batunya bisa dibongkar lagi untuk nisan selanjutnya. Jadi dia terbuat dari beberapa batu yang disusun, kayak candi,” tambah Emir.

“Makam sekarang mungkin ada satu dua yang pakai begitu.”

Meski ada makam baru yang menggunakan susunan nisan seperti itu, cara membedakannya cukup mudah.

Pada makam lawas atau tua, tatahan atau ukirannya kasar dan tidak akan serapi nisan-nisan buatan baru.

Sebab, nisan baru biasanya dibuat menggunakan alat modern dan tak jarang sudah ada alat cetaknya.

“Kalau makam baru nisannya itu wis rapi tatahane (sudah rapi tatahannya), ono cetakane (ada cetakannya), dan ada alatnya.”

Ukiran yang ada pada nisan lawas biasanya justru tidak terlalu banyak ornamen, khususnya pada zaman Mataram Islam.

Kalaupun ada ornamentasi pada nisan, biasanya hanya berupa bentuk tumpal, dan bulan sabit.

“Itu pun tatahannya nggak rapi. Kalau nisan sekarang rapi dan motifnya macem-macem,” ulangnya.

Senada dengan Emir, anggota komunitas Indonesia Graveyard lainnya, Adnan Rusdi, menyebut ada sedikit perbedaan pada bentuk nisan di sejumlah daerah.

Dari situlah dia bisa mempelajari arsitektur nisan, sejarah tokoh yang dimakamkan, sekaligus berziarah.

Emir Haidar, seorang anggota komunitas Indonesia Graveyard, memotret salah satu makam kuno di Kompleks Makam Gambiran, Yogyakarta, Jumat (18/2/2022). (Sumber: Kompas TV/Kurniawan Eka Mulyana)

“Di makam kita bisa belajar banyak, mulai dari arsitektur atau gaya nisan, dari sejarah tokoh yang dimakamkan, sekaligus berziarah dan mendoakan mereka.”

“Model atau bentuk nisan itu berbeda-beda di tiap daerah. Kayak Jogja sendiri misalnya yang di tengah kota dengan daerah Kulon Progo beda banget. Makam di sana nggak ditemukan di kota,” tutur Adnan.

Demikian pula dengan bentuk nisan yang ditemuinya di Magelang, Jawa Tengah, ada makam unik dengan dua batu menancap pada tengahnya.

Pegiat fotografi dengan kamera pinhole atau lubang jarum ini juga menceritakan awal dirinya sering menjelajahi makam.

Dulunya Adnan sering mengunjungi beragam bangunan kuno, seperti candi atau situs.

“Dulu fokusnya di candi dan situs. Tapi kan lama-lama habis, maksudnya cuma itu-itu saja.”

“Akhirnya coba ke makam. Sudah ke beberapa makam Belanda. Tapi kan terbatas juga, banyak yang sudah digusur juga,” ucapnya.

Selanjutnya, dia mencoba menjelajahi makam Islam. Tapi, dia sama sekali tidak paham tentang sejarah makam Islam.

“Aku blas nggak dong (paham) untuk sejarahnya. Ndilalah (kebetulan) pas itu aku cari artikel ketemu yang namanya makam Banyu Sumurup.”

Dari Banyu Sumurup itu dia kemudian mengenal Ruri, karena Adnan mengirimkan DM melalui Instagram tentang makam itu.

Selanjutnya, Ruri mengajaknya untuk blusukan alias menjelajah makam-makam lawas bareng.

“Yang menarik dari makam dan bangunan kuno karena makam dan bangunan kuno, banyak dari segi arsitektur yang saat ini sudah nggak ditemukan, jadi bangunannya limited (terbatas) dan unik.”




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x