Kompas TV regional gaya hidup

Buku dan Nisan Kuno Temani Siang Sunyi Para Pemuda Penjelajah Kuburan

Kompas.tv - 19 Februari 2022, 06:58 WIB
buku-dan-nisan-kuno-temani-siang-sunyi-para-pemuda-penjelajah-kuburan
Ruri Hargiyono (kanan) menjelaskan tentang bentuk nisan lawas pada seorang rekannya di Kompleks Makam Gambiran, Yogyakarta, Jumat (18/2/2022). (Sumber: Kompas TV/Kurniawan Eka Mulyana)
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana | Editor : Edy A. Putra

Saat beranjak remaja dan meningkat dewasa, minatnya menjelajah kuburan tidak berkurang dan tetap ada.

Namun, tujuannya mulai bergeser. Dia bukan lagi mencari setan.

“Pas agak gedean dikit, lebih ke arah sejarahnya. Terus setelah aku mlebu (masuk) (Teknik) Arsitektur iki, lebih ke tata lanskapnya, bangunannya.”

Perbedaan Bentuk Nisan dan Makam

Emir menceritakan, ada sejumlah perbedaan pada makam dan nisan. Pada makam keluarga keraton misalnya, penyusunannya lebih rapi daripada pemakaman umum.

“Makam keraton itu lebih tertata rapi. Jadinya untuk pemakaman selanjutnya masih ada lanskapnya. Sedangkan kalau pemakaman kampung, tersebar,” tuturnya.

Biasanya, jika ada makam keluarga keraton di pemakaman umum, lokasinya akan terpisah dari makam-makam lain.

Secara umum, bentuk nisan antara makam keraton dan makam non-keraton tidak terlalu banyak. Hanya saja, untuk makam keluarga keraton ada ciri khas tertentu, misalnya ada bentuk tumpal.

“Bentuk nisan di Jogja pada umumnya sebetulnya sama, seperti Surakarta juga pada umumnya. Meneruskan nisan-nisan Mataram era Sultan Agung,” dia menjelaskan.

Bentuk nisan yang agak berbeda ditemukan di kawasan Kulon Progo. Di sana bentuk nisannya mendapat pengaruh dari wilayah Purworejo, Jawa Tengah.

“Kalau di sana ada bentuk wajikan dan bulat. Kalau wajikan itu untuk laki-laki, kalau bulat untuk perempuan.”

Bentuk fisik nisan tua yang berusia ratusan tahun pun, menurutnya, berbeda dengan bentuk fisik nisan baru.

Batu nisan di kawasan Yogyakarta yang dibuat pada zaman dahulu biasanya tidak permanen, dan tersusun dari sejumlah batu.

“Nisan jaman dulu itu nggak permanen, dan batunya bisa dibongkar lagi untuk nisan selanjutnya. Jadi dia terbuat dari beberapa batu yang disusun, kayak candi,” tambah Emir.

“Makam sekarang mungkin ada satu dua yang pakai begitu.”

Meski ada makam baru yang menggunakan susunan nisan seperti itu, cara membedakannya cukup mudah.

Pada makam lawas atau tua, tatahan atau ukirannya kasar dan tidak akan serapi nisan-nisan buatan baru.

Sebab, nisan baru biasanya dibuat menggunakan alat modern dan tak jarang sudah ada alat cetaknya.

“Kalau makam baru nisannya itu wis rapi tatahane (sudah rapi tatahannya), ono cetakane (ada cetakannya), dan ada alatnya.”

Ukiran yang ada pada nisan lawas biasanya justru tidak terlalu banyak ornamen, khususnya pada zaman Mataram Islam.

Kalaupun ada ornamentasi pada nisan, biasanya hanya berupa bentuk tumpal, dan bulan sabit.

“Itu pun tatahannya nggak rapi. Kalau nisan sekarang rapi dan motifnya macem-macem,” ulangnya.

Senada dengan Emir, anggota komunitas Indonesia Graveyard lainnya, Adnan Rusdi, menyebut ada sedikit perbedaan pada bentuk nisan di sejumlah daerah.

Dari situlah dia bisa mempelajari arsitektur nisan, sejarah tokoh yang dimakamkan, sekaligus berziarah.

Emir Haidar, seorang anggota komunitas Indonesia Graveyard, memotret salah satu makam kuno di Kompleks Makam Gambiran, Yogyakarta, Jumat (18/2/2022). (Sumber: Kompas TV/Kurniawan Eka Mulyana)

“Di makam kita bisa belajar banyak, mulai dari arsitektur atau gaya nisan, dari sejarah tokoh yang dimakamkan, sekaligus berziarah dan mendoakan mereka.”

“Model atau bentuk nisan itu berbeda-beda di tiap daerah. Kayak Jogja sendiri misalnya yang di tengah kota dengan daerah Kulon Progo beda banget. Makam di sana nggak ditemukan di kota,” tutur Adnan.

Demikian pula dengan bentuk nisan yang ditemuinya di Magelang, Jawa Tengah, ada makam unik dengan dua batu menancap pada tengahnya.

Pegiat fotografi dengan kamera pinhole atau lubang jarum ini juga menceritakan awal dirinya sering menjelajahi makam.

Dulunya Adnan sering mengunjungi beragam bangunan kuno, seperti candi atau situs.

“Dulu fokusnya di candi dan situs. Tapi kan lama-lama habis, maksudnya cuma itu-itu saja.”

“Akhirnya coba ke makam. Sudah ke beberapa makam Belanda. Tapi kan terbatas juga, banyak yang sudah digusur juga,” ucapnya.

Selanjutnya, dia mencoba menjelajahi makam Islam. Tapi, dia sama sekali tidak paham tentang sejarah makam Islam.

“Aku blas nggak dong (paham) untuk sejarahnya. Ndilalah (kebetulan) pas itu aku cari artikel ketemu yang namanya makam Banyu Sumurup.”

Dari Banyu Sumurup itu dia kemudian mengenal Ruri, karena Adnan mengirimkan DM melalui Instagram tentang makam itu.

Selanjutnya, Ruri mengajaknya untuk blusukan alias menjelajah makam-makam lawas bareng.

“Yang menarik dari makam dan bangunan kuno karena makam dan bangunan kuno, banyak dari segi arsitektur yang saat ini sudah nggak ditemukan, jadi bangunannya limited (terbatas) dan unik.”




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x