Kompas TV regional berita daerah

Jebakan Banjir Rob, Sumur Air Tanah, dan Kerusakan Lingkungan

Kompas.tv - 31 Desember 2021, 22:01 WIB
jebakan-banjir-rob-sumur-air-tanah-dan-kerusakan-lingkungan
Banjir berwarna merah di Jenggot, Pekalongan Selatan, Kota Pekalongan pada Februari 2021. Banjir ini menunjukkan masalah rumit banjir, rob, dan kerusakan lingkungan di Kota Batik ini. (Sumber: Kompas TV/Ant/Harviyan Perdana)
Penulis : Ahmad Zuhad | Editor : Vyara Lestari

PEKALONGAN, KOMPAS.TV - Pada Februari 2021, masyarakat dibuat geger akibat banjir berwarna merah pekat yang merendam Kota Pekalongan, Jawa Tengah. Kejadian itu memperlihatkan secuil sengkarut masalah banjir, pencemaran, dan penggunaan sumur air tanah di Kota Batik itu.

Banjir berwarna merah itu terjadi di Kelurahan Jenggot, Kecamatan Pekalongan Selatan. Jenggot adalah satu dari 16 kelurahan yang ketika itu dilanda banjir.

Usai menerima laporan warga, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Pekalongan dan Dinas Lingkungan Hidup Pekalongan pun mengutus truk tangki untuk menyedot air banjir yang diduga terkena perwarna batik.

Banjir berwarna merah itu pun surut kembali. Namun, masalah banjir dan pencemaran itu belum berakhir. 

Peneliti dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Heri Andreas menyebut, Kota Pekalongan terancam banjir, terutama rob atau pasang besar air laut akibat penurunan muka tanah.

Akibatnya, sekitar 40 persen wilayah Pekalongan saat ini berada di bawah permukaan laut, terutama di Pekalongan Utara dan Pekalongan Barat.

“Sekarang saja sudah lebih dari 40 persen wilayah pesisir Pekalongan itu di bawah laut. Otomatis kalau ada ombak pasang tinggi, terjadi banjir rob,” ujar Heri Andreas pada Kompas TV di akhir November 2021 silam.

Heri menyebut, pemerintah sebenarnya sudah berupaya untuk menangani banjir rob ini dengan membangun tanggul di sepanjang bibir pantai sejak 2015. Namun, tanggul itu tidak dapat menahan seluruh air laut yang mengalir ke pemukiman.

“Kalau tidak ditanggul atau direklamasi, wilayah berada di bawah laut itu bisa tergenang bahkan sebagian tenggelam permanen,” kata Heri.

Menurut Heri, penurunan muka tanah di Kota Pekalongan mencapai 15-20 cm/tahun. Kecepatan penurunan tanah itu adalah yang tercepat di seluruh Pantura, bahkan melebihi DKI Jakarta.

“Sekarang itu, Pekalongan paling cepat penurunan tanahnya, lalu Semarang dan Demak. Kemudian, berurutan ada Jakarta, Cirebon, Surabaya, dan Probolinggo,” beber Heri.

“Hampir 10 tahun ke depan 80 persen Kota Pekalongan akan berada di bawah laut. Belum tentu terendam, kalau ditanggul,” imbuhnya.

Studi dari Flood Zurich Resilience Alliance yang melibatkan tim peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Universitas Diponegoro (Undip) juga menyimpulkan hal serupa.

Penelitian aliansi ini tertuang dalam dokumen “Kompilasi Laporan Singkat Analisa Bahaya, Kerentanan dan Risiko DAS Kupang, Pekalongan”.

Flood Zurich Resilience Alliance memperkirakan, hanya 4 kelurahan dari total 26 kelurahan yang memiliki tingkat bahaya ringan sampai tidak terdampak banjir pada 5-10 tahun mendatang.

Sementara, 3 kelurahan memiliki tingkat bahaya banjir sedang, 5 bahaya tinggi dan 14 bahaya sangat tinggi pada 2026-2030.

Dalam skenario terburuknya, 19 kelurahan di Kota Pekalongan bahkan dapat memiliki tingkat bahaya banjir sangat tinggi pada 2026-2030.

Baca Juga: Ancaman Banjir Rob: “Tahun 2030, 80 Persen Kota Pekalongan akan Berada di Bawah Laut”

Eksploitasi Air Tanah

Heri Andreas mengingatkan soal eksploitasi air tanah lewat sumur-sumur bor sebagai penyebab terbesar penurunan tanah hingga banjir rob di Kota Pekalongan dan pesisir Kabupaten Pekalongan.

“Eksploitasi air tanah kalau dari pemodelan kita, efeknya besar atau dominan bisa sampai 80 persen (untuk penurunan tanah). Karena tanah terus turun dan turun, jadi di bawah laut dan banjir rob,” jelas Heri.

Masalah ini pun diakui oleh Pemerintah Kota Pekalongan. Pemkot Pekalongan mengaku sudah membatasi penggunaaan air tanah dengan menyetop pemberian izin pengeboran sumur baru.

Namun, sumur-sumur air tanah yang sudah ada tetap bisa digunakan, bahkan izinnya dapat diperpanjang. Uniknya, bukan hanya warga biasa yang membuat sumur bor untuk menggunakan air tanah di Kota Pekalongan. 

Program penyediaan air minum pemerintah berbentuk Pamsimas hingga BUMD PDAM pun menggunakan air tanah. 

“Kita memang sadari pengelolaan air bawah tanah sebagai kota jasa banyak sekali hotel, restoran, industri tidak terlalu banyak dan PDAM juga banyak mempergunakan air bawah tanah,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Pemkot Pekalongan Joko Purnomo.

“Prediksi kami kurang lebih ada 500 titik sumur air tanah untuk Pamsimas, hotel dan sebagainya,” lanjutnya.

Sebanyak 157 sumur di antaranya adalah sumur dalam (sumur artesis) yang khusus dikuasai hotel, restoran besar, pusat perbelanjaan, dan industri besar.

Sumur-sumur milik swasta itu mendapat izin dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Pemkot Pekalongan pun tidak bisa memaksa pihak swasta untuk menutup sumur-sumur itu.

“Karena memang PDAM kita belum bisa memenuhi kebutuhan air bersih untuk konsumen yang dari sisi usaha. Kalau dari pihak swasta bisa dipenuhi kebutuhannya oleh PDAM, memang mungkin kita bisa mengurangi penggunaan air tanah,” ujar Joko.

PDAM sebagai Badan Usaha Milik Daerah (juga) tidak memiliki banyak alternatif sumber air selain dari air tanah karena air permukaan, seperti sungai, sudah tercemar.

Eksploitasi air tanah pun terjadi selama bertahun-tahun hingga penurunan tanah hingga banjir rob tak terhindarkan.

Baca Juga: ITB: 112 Kabupaten/Kota di Indonesia Berpotensi Tenggelam

Kerusakan Lingkungan

Masalah akibat eksploitasi air tanah ini belum mempertimbangkan faktor-faktor lain penyebab banjir dan rob di Kota Pekalongan. Perlu diketahui, bentang alam Kota Pekalongan yang datar di pesisir juga memicu banjir.

Di sisi lain, tata guna lahan di Kabupaten Pekalongan pun berdampak pada Kota Pekalongan. Kota Pekalongan hampir tidak memiliki dataran tinggi.

Dataran tinggi lebih banyak berada di Kabupaten Pekalongan. Namun, sebagian besar Kabupaten Pekalongan didominasi lahan sawah padi atau palawija.

“Nilai limpasan permukaan pada lahan ini lebih tinggi dibandingkan hutan. Kondisi ini tidak hanya akan mengakibatkan peningkatan potensi banjir di wilayah tengah dan hilir pada saat terjadi hujan ekstrim, tetapi juga menurunkan jumlah air yang terinfiltrasi menjadi cadangan air tanah,” jelas tim Zurich Flood Resistance Alliance.

Tak cuma itu, masalah infrastuktur soal kualitas drainase juga masih tersisa. Perlu diketahui, ada 53 saluran drainase, termasuk 11 sungai di Kota Pekalongan.

Seluruh drainase itu memiliki panjang total 31.715 meter pada 2020. Namun, Pemkot Pekalongan mencatat, hanya 58,9 persen drainase yang berfungsi baik. 

Sepanjang 7.534 meter drainase kota sudah dalam kondisi rusak dan 8.894 meter rusak sebagian.

Kerusakan lingkungan, pencemaran, dan tata guna lahan di daerah hulu sungai ini tentu bukan masalah ringan.

Kepala DLH Kota Pekalongan Joko Purnomo menyoroti hal ini sebagai masalah lintas kabupaten/kota.

“Untuk pencemaran di Kota Pekalongan ini memang tidak serta-merta berasal dari kota. Karena wilayah sungai dan wilayah irigasi itu semua dari area Batang dan Kabupaten Pekalongan,” kata Joko.

“Memang perlu kerja bareng antar kabupaten/kota untuk pencemaran air atau limbah di Kota Pekalongan ini, tidak bisa bekerja sendiri karena juga hulunya ada di kabupaten sekitar,” tambahnya.

Di Kota Pekalongan sendiri, pengelolaan limbah masih menjadi masalah. Kota Pekalongan hanya memiliki 6 Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL). Ada pula IPAL Bersama, IPAL milik industri besar dan IPAL industri kecil. 

Namun, sebuah IPAL tidak beroperasi optimal karena sudah tua. IPAL itu terletak di Jenggot, lokasi sama yang mengalami banjir berwarna merah pada Februari 2021.

Data DLH Kota Pekalongan menunjukkan, seluruh IPAL itu mampu mengolah total 2.606 m3. Sementara, volume limbah cair di Kota Pekalongan mencapai 5.190 m3, 960 m3 limbah cair B3, 1.818,96 m3 limbah padat B3.

Itu artinya, hanya sekitar sepertiga limbah itu yang dapat diolah di seluruh IPAL yang ada saat ini.

“Kita kekurangan IPAL. Kita punya banyak kawasan batik yang belum ada IPAL, seperti di Medono, Pasirsari, Pabean, Tirto. Di Jenggot pun IPAL-nya sudah lama dan perlu revitalisasi. Karena Jenggot itu area industri rumahan yang lumayan memproduksi banyak limbah,” kata Joko.

Untuk mengelola limbah dan pencemaran di sungai daerah Pekalongan, Pemkot mesti mencari anggaran dari Pemprov Jateng atau bahkan Pemerintah Pusat.

Baca Juga: Peringatkan Sumur Air Tanah Berpotensi Bikin Pantura Tenggelam, Peneliti: Ganti dengan Pipa PDAM

“Keterbatasan anggaran di Pemkot, sehingga memang belum bisa menganggarkan (untuk IPAL),” ujar Joko.

Bagaimanapun, limbah yang ada saat ini terus menimbulkan masalah. Limbah ini dapat mencemari air tanah hingga menyebabkan penyakit kulit.

Kerugian Ekonomi dan Kesehatan

Sebuah skripsi berjudul “Estimasi Kerugian Ekonomi Akibat Industri Batik di Kelurahan Jenggot Kecamatan Pekalongan Selatan” karya Abdul Rasyid dan Hidayat Aceng dari IPB menyebut, limbah batik menyebabkan kerugian ekonomi senilai Rp986 ribu tiap KK per tahun.

Totalnya, limbah batik menyebabkan masyarakat mesti membayar biaya eksternal senilai Rp644 juta per tahunnya.

Tak cuma itu, ada pula dampak kesehatan jangka panjang dari air tanah yang tercemar limbah. Hal ini sempat pula diteliti oleh Kepala Dinas Kesehatan Kota Pekalongan Slamet Budiyanto.

Dalam penelitian itu, Slamet menemukan bahwa 61,4 persen dari 210 sumur sampel di Jenggot, Kota Pekalongan sudah tercemar logam berat jenis timbal (Pb) di atas standar baku air bersih.

“Asupan logam berat untuk tubuh manusia melalui minuman, makanan, atau tabung bronkial dapat menyebabkan masalah kesehatan serius. Paparan Pb dalam darah manusia dapat menyebabkan, antara lain, rendah hemoglobin (Hb) atau anemia, hipertensi, gangguan reproduksi, dan lain sebagainya,” tulis Slamet dalam disertasi yang dimuat di jurnal JPHTCR itu.

Akibatnya, masyarakat yang tak mampu mendapatkan akses PDAM berada dalam kondisi terjepit. Di satu sisi, mereka tak bisa mengonsumsi air sungai yang sudah sangat tercemar.

Sebagai gantinya, mereka lebih memilih menggunakan air tanah. Tetapi, air tanah pun telah tercemar dan penggunaannya dapat memicu rob hingga penyakit.

 




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x