Kompas TV nasional berita kompas tv

Studi Terbaru: Ilmuwan Temukan Mutasi Paling Mematikan Virus Corona SARS-CoV-2

Kompas.tv - 22 April 2020, 09:19 WIB
studi-terbaru-ilmuwan-temukan-mutasi-paling-mematikan-virus-corona-sars-cov-2
Ilustrasi Virus Corona (Sumber: Shutterstock)
Penulis : Fadhilah

Baca Juga: Penelitian Di China Ungkap Golongan Darah yang Rentan Tertular Virus Corona

Peneliti juga menemukan tiga perubahan yang terjadi secara berturut-turut yang dikenal sebagai mutasi tri-nukleotida yang terjadi pada seorang pasien berusia 60 tahun.

Ilmuwan mengklaim itu adalah peristiwa yang langka terjadi. Sebab, biasanya gen bermutasi pada satu situs pada satu waktu.

Pasien tersebut menghabiskan masa perawatan sekitar 50 hari di rumah sakit, lebih lama dari pasien Covid-19 lainnya.

Bahkan, feses pasien tersebut sangat menular dengan strain virus yang hidup.

"Menyelidiki dampak fungsional dari mutasi tri-nukleotida ini akan sangat menarik," kata Prof Li.

Adapun gen virus corona yang bermutasi saat ini berbeda dari strain paling awal yang diisolasi di Wuhan, tempat virus ini pertama kali terdeteksi.

Peneliti mengungkapkan pada umumnya, virus corona berubah dengan kecepatan rata-rata satu mutasi per bulan.

Namun, pada hari Senin, dilaporkan lebih dari 10.000 strain telah diurutkan oleh para ilmuwan di seluruh dunia.

Menurut China National Centre for Bioinformation, dari strain virus corona tersebut mengandung 4.300 mutasi.

Baca Juga: Penelitian Baru, Uji Coba Vaksin BCG Untuk Virus Corona

Profesor Zhang Xuegong, kepala divisi bioinformatika di National Laboratory for Information Science and Technology, Tsinghua University mengapresiasi metode pengurutan sekuensing ultra-deep.

Metode ini digunakan Prof Li untuk melacak mutasi virus, yakni pada mutasi virus corona, SARS-CoV-2.

"Metode ini adalah strategi efektif untuk melacak mutasi virus dan dapat menghasilkan beberapa informasi bermanfaat," kata Prof Zhang.

Kendati demikian, melacak mutasi virus dengan pendekatan ini bisa jadi akan memakan waktu lebih lama dan harus mengeluarkan lebih banyak biaya.

Selain itu, metode tersebut juga tidak bisa diterapkan pada semua sampel strain virus corona.




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x