Kompas TV nasional politik

Mantan Ketua DKPP Akui Kecurangan di Pemilu Masif, tapi Belum Tentu Terstruktur dan Sistematis

Kompas.tv - 27 Februari 2024, 06:31 WIB
mantan-ketua-dkpp-akui-kecurangan-di-pemilu-masif-tapi-belum-tentu-terstruktur-dan-sistematis
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP)Jimly Asshiddiqie saat ditemui di Kantor Kemenko Perekonomian usai bertemu dengan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Senin (26/2/2024). (Sumber: KOMPAS TV/ Bongga Wangga)
Penulis : Johannes Mangihot | Editor : Deni Muliya

JAKARTA, KOMPAS.TV - Mantan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) Jimly Asshiddiqie mengakui pelanggaran dan kecurangan memang banyak terjadi. 

Bahkan menurut Jimly yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), pelanggaran dan kecurangan Pemilu sudah terjadi dari Pemilu 2004.

Dalam pengalamannya memimpin DKPP periode 2012-2017, pelanggaran dan kecurangan banyak terjadi di tingkat kecamatan. 

Total ada 340 kasus pelanggaran Pemilu yang dilakukan penyelenggara Pemilu, dari tingkat kabupaten/kota hingga pusat.

Kasus terbanyak yakni jual beli suara yang terjadi di tingkat kecamatan. Keputusan DKPP kala itu 10 persen dari terlapor sudah dipecat. 

Menurut Jimly, kasus jual beli suara tidak terlepas dari sistem Pemilu proporsional terbuka dengan nomor urut membuat para Caleg di internal partai maupun berbeda partai berupaya agar suara yang didapat bisa meningkat dan menjadi Caleg terpilih. 

Baca Juga: Maju-Mundur Pengajuan Hak Angket Dugaan Kecurangan Pemilu: NasDem Tunggu Langkah PDIP

"Apalagi sesudah 2009 diterapkannya sistem suara terbanyak sehingga nomor urut tidak menentukan lagi. Siapa yang dapat suara terbanyak, jual beli suara banyak," ujar Jimly saat ditemui di Kemenko Perekonomian, Senin (26/2/2024).

Jimly menilai, meski diakui pelanggaran dan kecurangan Pemilu sangat banyak terjadi, namun bukan berarti hal tersebut dilakukan secara terstruktur dan sistematis. 

Ia mencontohkan saat Pilpres 2014, di satu distrik di Papua nama pasangan Capres dan Cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa unggul 100 persen dibanding Capres dan Cawapres Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Namun di distrik lain masih di daerah Papua, perolehan suara Jokowi-Kalla mencapai 100 persen dibanding Prabowo-Hatta. 

"Kejadian di lapangan itu tidak sistematis, cuma begitu kejadian itu di foto, di video dan disebar ke seluruh Indonesia maka pandangan orang waduh ini seluruh Indonesia. Jadi dari pengalaman saya masif iya, sistematis susah, apalagi terstruktur," ujar Jimly.

Baca Juga: Timnas AMIN Masukkan Banyak Laporan Dugaan Kecurangan Pemilu, Bawaslu sudah Tindaklanjuti

Dugaan Kecurangan Pilpres 2024

Jimly lebih lanjut menjelaskan permasalahan yang terjadi di 2024 lebih kompleks karena Pemilu berlangsung serentak dengan Pilpres. 

Pelanggaran dan kecurangan yang terjadi di Pemilu sebelumnya bisa saja terjadi.

Namun dugaan kecurangan tersebut tertutup oleh Pilpres dikarenakan semua orang berfokus ke Pilpres. 

Terlebih di Pilpres 2024 ada Gibran Rakabuming Raka, anak Presiden Jokowi.

Tak hanya itu, kata Jimly, pernyataan Jokowi soal cawe-cawe dalam Pemilu juga menjadi pemicu kecurigaan Pilpres 2024 tidak berjalan secara adil. 

Hal tersebut yang membuat kasus-kasus dugaan pelanggaran dan kecurangan di seluruh Indonesia itu dialamatkan gara-gara cawe-cawe Jokowi. 

Baca Juga: Mahfud Ungkap Alasan Hak Angket DPR Bisa Merekomendasikan Pemakzulan Jokowi

Padahal belum tentu juga Presiden turun tangan kerena tidak mungkin secara nasional presiden campur tangan.

Sebab penyelenggara pemilu merupakan cabang kekuasaan keempat sesudah eksekutif, legislatif dan yudikatif. 

"Jadi tidak bisa tanggung jawab KPU diambil presiden dan presiden tidak bisa mendikte keputusan KPU harus begini, harus begini, tidak bisa," ujar Jimly. 


 



Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x