Kompas TV nasional hukum

MK Gelar Sidang Perdana Gugatan Emil Dardak cs soal Masa Jabatan Kepala Daerah, Hakim Soroti Hal Ini

Kompas.tv - 15 November 2023, 22:18 WIB
mk-gelar-sidang-perdana-gugatan-emil-dardak-cs-soal-masa-jabatan-kepala-daerah-hakim-soroti-hal-ini
Mahkamah Kostitusi (MK) menggelar sidang perdana gugatan terhadap Pasal 201 ayat (5) Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada, Rabu (15/11/2023). (Sumber: Tangkap Layar Kanal YouTube Mahkamah Konstitusi RI)
Penulis : Isnaya Helmi | Editor : Edy A. Putra

JAKARTA, KOMPAS.TV - Mahkamah Konstitusi atau MK menggelar sidang perdana gugatan terhadap Pasal 201 ayat (5) Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada, Rabu (15/11/2023).

Adapun gugatan itu diajukan tujuh kepala daerah, yakni Gubernur Maluku Murad Ismail, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil E Dardak, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto, Wakil Wali Kota Bogor Dedie A. Rachim.

Kemudian Wali Kota Gorontalo Marten A. Taha, Wali Kota Padang Hendri Septa, dan dan Wali Kota Tarakan Khairul. Mereka menggandeng Visi Law Office sebagai kuasa hukum.

Dalam gugatannya, para pemohon mempersoalkan pasal 201 ayat (5) UU Nomor 10 Tahun 2016 yang dinilai merugikan para pemohon karena berpotensi memotong masa jabatan mereka menjadi tidak utuh lima tahun sehingga berakhir pada 2023. 

Berikut bunyi Pasal 201 ayat 5 UU No 10/2016 tentang Pilkada:

"Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023."

Para pemohon menilai mereka mestinya memegang masa jabatan 5 tahun sebagaimana yang diatur dalam Pasal 162 ayat 1 dan ayat 2 UU No. 10 Tahun 2016.

Mereka menilai seharusnya masa jabatan kepala daerah tersebut terhitung dari tanggal pelantikan para pemohon.

“Ketentuan Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada telah memberikan kerugian yang nyata kepada pemohon atau paling tidak akan memberikan kerugian yang berpotensi terjadi dengan wujud masa jabatan para pemohon sebagaimana kepala daerah akan terpotong," kata kuasa hukum pemohon, Donal Fariz, dalam sidang, Rabu.

Para pemohon menilai ketentuan dalam Pasal 201 ayat (5) UU No. 10 Tahun 2016 bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945.

"Dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan dan pelantikan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023 dan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang dilantik tahun 2019 memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan sepanjang tidak melewati pemungutan suara serentak nasional tahun 2024,'” sambungnya.

Baca Juga: Ketua MKMK soal Usia Capres-Cawapres Kembali Digugat: Jika Ada Perubahan Berlaku di 2029

Ketua MK Suhartoyo yang memimpin sidang bersama Wakil Ketua MK Saldi Isra dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dalam nasihat Majelis Sidang Panel, memberikan sejumlah catatan bagi para pemohon.

Saldi dalam nasihatnya memberikan lima poin catatan terkait gugatan ketujuh kepala daerah tersebut.

Salah satunya, dia meminta pemohon untuk menguraikan tahapan dimulainya pilkada dan tahapan pemungutan suara hingga pengambilan sumpah.

“Sebab ini sangat relevan dikaitkan dengan petitum yang diajukan. Pastikan ini karena pemungutan suara beritanya akan digeser dari November ke September, itu perlu elaborasi dari para pemohon. Sehingga apa yang dikemukakan dalam petitum dapat diuraikan dari tahapan pilkada itu,” jelas Saldi.

Sementara Hakim Konstitusi Daniel, mencermati kedudukan hukum para pejabat yang mengajukan permohonan.

“Sebab antara wali kota dan wakil wali kota dinilai satu SK sehingga perlu mempertimbangkan satu kesatuan legal standing-nya, karena tidak mungkin nanti memperpanjang masa jabatan wakilnya saja atau sebaliknya, ini perlu diperkuat dan diperjelas lagi legal standing-nya,” ujarnya.

Adapun Ketua MK Suhartoyo dalam sidang tersebut meminta para pemohon untuk memperhatikan petitum yang diajukan yang dinilainya bias.

“Ini bias ‘sepanjang tidak melewati pemungutan suara serentak nasional tahun 2024’ karena apakah sebelum TPS dibuka atau bagaimana? Ini bisa menimbulkan ketidakpastian hukum. Lalu kapan pemerintah menunjuk pejabatnya? Ini harus jelas,” katanya.

Baca Juga: Hakim Konstitusi Sedih MK Disebut Mahkamah Keluarga, Akui Tindakan Anwar Usman 'di Luar Nalar'


 




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x