Kompas TV nasional peristiwa

39 Tahun Tragedi Tanjung Priok, Amnesty International Desak Pemerintah Usut Kembali

Kompas.tv - 13 September 2023, 01:05 WIB
39-tahun-tragedi-tanjung-priok-amnesty-international-desak-pemerintah-usut-kembali
Foto arsip. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mendesak pemerintah mengusut kembali Tragedi Tanjung Priok 1984 hingga tuntas. (Sumber: Kompas.com)
Penulis : Isnaya Helmi | Editor : Edy A. Putra

"Negara melalui DPR juga perlu segera meratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan Setiap Orang dari Penghilangan Paksa (ICPPED) agar kejahatan kemanusiaan seperti Tragedi Tanjung Priok tidak lagi terjadi,” ujar Usman.  

Sebagai informasi Tragedi Tanjung Priok terjadi pada 12 September 1984 atau tepat 39 tahun yang lalu pada Selasa (12/9/2023).

Peristiwa tersebut merupakan kejahatan kemanusiaan yang terjadi selama masa pemerintahan Orde Baru.

Ketika itu, pasukan keamanan menembaki kerumunan umat muslim yang saat itu menggelar aksi protes ke kantor polisi dan markas Kodim Jakarta Utara untuk menuntut pembebasan empat orang yang ditahan. 

Menurut laporan Amnesty, akibat insiden tersebut diperkirakan 30 orang ditembak dan tewas, dan lebih dari 200 orang ditangkap.

Mereka ada yang dituduh menyerang aparat, menghancurkan properti, dan menyebarkan kabar bohong seperti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Beberapa lainnya kena tuduhan subversi, yaitu dakwaan yang dapat diganjar hukuman maksimal berupa hukuman mati, seperti yang diatur dalam Dekrit Presiden 11/1963 atau dikenal dengan "Undang-undang Anti Subversi."    

Sementara menurut temuan Komnas HAM, setidaknya 79 orang menjadi korban, dengan 55 orang terluka dan 23 lainnya meninggal dunia akibat tindakan represif negara. Selain itu, banyak orang ditangkap tanpa proses hukum yang jelas, dan beberapa di antaranya hilang. 

Kasus Tragedi Tanjung Priok pernah masuk proses hukum melalui Pengadilan HAM ad hoc di Jakarta pada 2003. Pada pengadilan tingkat pertama, 12 terdakwa dinyatakan bersalah dan negara diinstruksikan memberikan kompensasi, restitusi, serta rehabilitasi kepada korban dan keluarganya.  

Namun pada 2005, Pengadilan Tinggi Jakarta membebaskan para terdakwa di tingkat banding. Jaksa kemudian mengajukan kasasi, namun hal itu ditolak Mahkamah Agung dengan alasan kasus itu bukan merupakan pelanggaran HAM (karena korban bersenjata), sehingga harus diproses di pengadilan pidana.

Putusan bebas tersebut juga mencabut kewajiban negara untuk memberikan ganti rugi kepada korban dan keluarganya, termasuk kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. 

Di luar proses pengadilan, terdakwa bahkan menawarkan islah kepada korban dan saksi, yang mengakibatkan banyak dari mereka menarik kesaksian atau mencabut pernyataan mereka.

Baca Juga: Jokowi Akui 12 Pelanggaran HAM Berat, SETARA: Tak Penuhi Tuntutan Keadilan


 




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x