Kompas TV nasional humaniora

IDI Sebut Siaga Ponsel 24 Jam Bukan Perundungan, tapi Tanggung Jawab Dokter ke Pasien

Kompas.tv - 26 Juli 2023, 08:35 WIB
idi-sebut-siaga-ponsel-24-jam-bukan-perundungan-tapi-tanggung-jawab-dokter-ke-pasien
Ilustrasi dokter spesialis. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menyatakan, bahwa menyiagakan ponsel selama 24 jam merupakan bagian dari tanggung jawab dokter, bukan bentuk perundungan. (Sumber: Antara)
Penulis : Dina Karina | Editor : Desy Afrianti

JAKARTA, KOMPAS.TV- Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menyatakan, bahwa menyiagakan ponsel selama 24 jam merupakan bagian dari tanggung jawab dokter, bukan bentuk perundungan.

Anggota Biro Hukum, Pembinaan, dan Pembelaan Anggota Pengurus Besar IDI Carolina Kuntardjo mengatakan, dirinya dan dokter spesialis yang lain biasa menyiagakan ponsel selama 24 jam sebagai bagian dari tanggung jawab dokter kepada pasien.

Menurut dia, selalu menyiagakan ponsel merupakan kebiasaan wajar dokter sejak menjalani pendidikan.

"Apakah perintah untuk standby (siaga) ponsel selama 24 jam merupakan bullying (perundungan)? Sama sekali bukan," kata Carolina dalam konferensi pers yang diikuti via daring di Jakarta, Selasa (25/7/2023). 

Menurutnya, peserta didik yang menyatakan siap mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS), harus menyiagakan ponsel selama 24 jam dan siaga melakukan operasi di luar jam jaga.

Baca Juga: Ajaib, Dokter Israel Berhasil Sambung Kepala Bocah 12 Tahun yang Sempat Terpenggal dan Tetap Hidup

"Seperti halnya orang tua meminta anak untuk standby ponsel selalu, saya pikir itu adalah etika dasar," ujar Carolina seperti dikutip dari Antara. 

"Ada pasien yang harus dioperasi di luar jam jaga, apakah itu paksaan? Tidak, karena itu bentuk tanggung jawab," ujarnya. 

Ia menegaskan, perintah untuk menyiagakan ponsel dan menyiagakan diri sewaktu-waktu harus menjalankan tugas, merupakan bagian dari pendidikan untuk menjalankan tanggung jawab setelah lulus dari program pendidikan dokter spesialis.

Sebelumnya, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin, membeberkan modus perundungan terhadap dokter yang sedang melakukan internship maupun mengambil program pendidikan spesialis.

Menurut Budi, modus yang kerap dilakukan mulai dari diperlakukan sebagai asisten pribadi hingga diminta mengeluarkan uang hingga ratusan juta rupiah.

Baca Juga: Disebut Monopoli Kedokteran dari Hulu ke Hilir, Ini Reaksi Ketum PB IDI | Rosi

“Peserta didik jadi asisten pribadi. Urusin laundry, parkir, dan lain-lain,” kata Budi, Kamis (20/7/2023).

“Kalau ada acara, kurang sendok plastik malem-malem, harus cari. Suruhan yang sifatnya pribadi. Bukan untuk mengajar. Jarkom bukan seperti itu. Kelompok peserta didik jadi pembantu pribadi," ujarnya. 

Modus lainnya, adalah menjadikan peserta didik untuk menulis tugas, jurnal, maupun penelitian.

“Peserta didik jadi pekerja pribadi. Nulis tugas, jurnal, penelitian. Kakak kelasnya nyuruh junior. Kasihan juniornya, harus belajar spesialisasi, malah sebagai asisten pribadi," ucapnya. 

Selanjutnya, adalah senior meminta juniornya untuk mengumpulkan uang puluhan bahkan ratusan juta rupiah.

Baca Juga: Kejagung Sayangkan Adanya Dugaan Intimidasi Terhadap Jurnalis Usai Pemeriksaan Airlangga Hartarto

“Suruh siapkan rumah buat kakaknya kumpul-kumpul. Misal makan di rumah sakit ga enak, makan malam di resto Jepang," ucap Budi. 

“Sewain lapangan bola. HP dan ipad ga bagus. Itu gak pernah disampaikan junior. Pas dia senior dia lakukan yang sama. Ini saya mau hentikan perundungan seperti ini,” ujarnya. 

Budi mengimbau dokter yang sedang melakukan internship untuk melapor. Jika mereka berani, bisa memberikan nama dan NIK.

“Nggak usah dirut dan kakak tahu. Kalau nggak berani kasih NIK, anonim. Kita akan audit nanti," sebut mantan Dirut Bank Mandiri itu. 

Budi mengatakan ada tiga hukuman atau sanksi bagi mereka yang terbukti melakukan perundungan, mulai dari sanksi ringan, sedang, hingga berat. 

Baca Juga: Pesan Sri Mulyani ke Pekerja Keuangan: Jangan Pernah Tergoda untuk Curang dan Manipulatif

“Sanksi ringan berupa teguran tertulis, bisa ke pengajar atau senior, atau ke dirut RS," katanya. 

“Kalau berulang atau tindakannya kasar, kita kategorikan sanksi sedang. Skors 3 bulan. Kalau senior hilang satu lase. Satu kali pendidikan. Dirut juga skors,” ucapnya. 

Sementara, untuk sanksi berat berupa penurunan satu tingkat selama 12 bulan jika pelakunya pegawai Kemenkes.

“Lalu bebaskan selama pengajar. Seniornya juga sama. Tidak bisa belajar di rumah sakit kita di bawah Kemenkes,” katanya. 




Sumber : Antara, Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x