Kompas TV nasional hukum

Ahli Hukum Tata Negara Khawatir Gugatan Sistem Pemilu Terbuka di MK

Kompas.tv - 22 Februari 2023, 17:26 WIB
ahli-hukum-tata-negara-khawatir-gugatan-sistem-pemilu-terbuka-di-mk
Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari menanggapi wacana Presiden Jokowi yang didorong menjadi Cawapres Prabowo Subianto di Pilpres 2024, Sabtu (17/9/2022). (Sumber: KOMPAS TV)
Penulis : Nadia Intan Fajarlie | Editor : Purwanto

JAKARTA, KOMPAS.TV - Ahli Hukum Tata Negara sekaligus Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari mengaku khawatir apabila gugatan atas Undang-Undang Pemilu tentang sistem pemilu proporsional terbuka hanya akal-akalan untuk tunda pemilu, Rabu (22/2/2023).

"Saya khawatir perubahan sistem ini adalah akal-akalan untuk kemudian, misalnya, yang sedang marak dibicarakan soal potensi penundaan pemilu," kata Feri di Jakarta, Rabu (22/2) dilansir dari Antara.

Ia menjelaskan, apabila sistem pemilu diubah menjadi proporsional tertutup, maka Mahkamah Konstitusi (MK) akan memberikan waktu bagi penyelenggara pemilu untuk mempersiapkannya selama tiga tahun.

"Ini sama saja dengan cerita menunda pemilu dengan menggunakan berbagai jalan salah satunya dengan mengubah sistem pemilu," terangnya.

Dosen hukum Universitas Andalas tersebut mengatakan bahwa hal itu sama sekali tidak sehat bagi demokrasi serta melanggar prinsip konstitusional, termasuk melanggar azas pemilu di dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

"Tentu saja ini adalah upaya lain untuk mempertahankan kekuasaan," tegasnya.

Baca Juga: Cak Imin Optimistis MK akan Tolak Sistem Pemilu Proporsional Tertutup: Semua Telah Optimal

Ia menuturkan, apabila gugatan terhadap UU Pemilu tersebut berimbas pada penundaan pemilu, maka secara jelas hal itu melanggar konstitusi dan membuka ruang penolakan dari masyarakat di Tanah Air.

Soal alasan gugatan terhadap sistem pemilu proporsional terbuka yang dinilai potensial melanggengkan politik uang, ia berpendapat bahwa dalih tersebut sumir.

Sebab, pada dasarnya, potensi politik uang tetap ada hampir di semua sistem pemilu.

Menurut Feri, masalah politik uang terletak pada peserta dan penyelenggara pemilu itu sendiri. Sebab, apabila setiap peserta memiliki komitmen yang kuat dan bisa meyakinkan publik untuk memilihnya tanpa kekuatan uang, maka diyakini politik uang tidak akan terjadi.

"Pemilu yang baik mestinya pemilih yang akan mengeluarkan uang untuk calon, tidak sebaliknya calon memberikan uang kepada pemilih," ujarnya.

Baca Juga: Respons Komentar SBY soal Pergantian Sistem Pemilu, Sekjen PDIP Beri Tanggapan Menohok

Sebelumnya, gugatan terhadap UU Pemilu terkait sistem proporsional terbuka telah terdaftar di MK sebagai permohonan Nomor 114/PUU-XX/2022.

Pihak yang mengajukan gugatan tersebut ialah pengurus Partai PDI Perjuangan (PDIP) Demas Brian Wicaksono, anggota Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono. 

Para Pemohon mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945.

Berdasarkan informasi dari laman resmi MK, agenda sidang selanjutnya ialah pengucapan putusan oleh majelis hakim. Akan tetapi, belum ada informasi terkait jadwal atau waktu sidang putusan gugatan sistem pemilu ini.

Baca Juga: Surya Paloh Sebut Pemerintah Menolak Sistem Pemilu Proporsional Tertutup


 



Sumber : Kompas TV/Antara


BERITA LAINNYA



Close Ads x