Kompas TV nasional hukum

Pemerintah Berharap RUU KUHP Bisa Segera Disahkan, Ini Urgensinya

Kompas.tv - 23 Juni 2022, 22:43 WIB
pemerintah-berharap-ruu-kuhp-bisa-segera-disahkan-ini-urgensinya
Ilustrasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Sumber: KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI)
Penulis : Johannes Mangihot | Editor : Deni Muliya

JAKARTA, KOMPAS.TV - Pemerintah berkomitmen untuk mempercepat proses Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP).

Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej (Eddy Hiariej) menjelaskan, saat ini tim pemerintah masih membaca ulang dan menyelesaikan sejumlah masukan elemen masyarakat dalam draf RUU KUHP.

Selain itu, pemerintah juga memeriksa kembali kesalahan penulisan, rujukan, hingga sinkronisasi antara batang tubuh dan penjelasan.

Baca Juga: Jalan Panjang KUHP: RUU KUHP Bisa Ringankan Koruptor?

Langkah ini untuk mencegah pengalaman yang terjadi di UU Cipta Kerja berulang di RUU KUHP.

"Kalo pertanyaannya apakah kita harus segera mengesahkan KUHP, jawaban saya iya," ujar Eddy dalam dialog virtual Konsinyering RUU KUHP yang disiarkan di YouTube Pusdatin Kumham, Kamis (23/6/2022).

Eddy menambahkan, RUU KUHP ini sangat dibutuhkan di tengah multi interpretasi, mengingat KUHP yang berlaku saat ini merupakan warisan kolonial Belanda.


Dalam perjalanannya, terdapat terjemahan KUHP versi R. Soesilo dan Moeljatno.

Ia mencontohkan sejumlah perbedaan dalam KUHP versi Soesilo dan Moeljatno.

Dalam Pasal 110 KUHP tentang pemufakatan jahat misalnya. 

Baca Juga: Ini Penjelasan Pemerintah Mengapa Draf RUU KUHP Belum Bisa Diungkap ke Publik

Versi Soesilo, ancaman hukumannya 6 tahun penjara.

Sementara, Moeljatno menyatakan, dipidana sama dengan kejahatan itu dilakukan, yang berarti pidana mati.

"Bisa bayangkan jutaan orang dipidana dengan KUHP yang tidak pasti dan perbedaan-perbedaan prinsip itu tidak hanya rumusan delik, tetapi di dalam sanksi pidana, itu perbedaannya sangat panjang," ujar Eddy.

Lebih lanjut Eddy mengakui dalam perumusan draf RUU KUHP tim banyak mendapat tantangan.

Baca Juga: BEM UI Soroti 2 Pasal di RKUHP, Demo Tanpa Pemberitahuan dan Hina Kekuasaan Bisa Dipidana

Menurutnya sangat tidak mudah untuk membuat RUU KUHP di tengah masyarakat multi etnis, multi religi, multi kultur. Pastinya ada pihak yang tidak puas.

Ia mencontohkan perihal kohabitasi yang menjadi istilah bagi pasangan tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan sah menurut hukum negara maupun agama.

Ada yang minta kohabitasi dihapus karena negara tidak mengatur urusan privasi. Tetapi saat sosialisasi di tempat lain ada yang heran kenapa kohabitasi ini sebatas delik aduan terbatas yang siapapun bisa melapor. Alasannya sudah merusak tatanan masyarakat.

Jika pemerintah menghapus kohabitasi, masyarakat yang ingin hal tersebut bukan delik aduan akan protes. 

Baca Juga: Wamenkumham: Ketentuan Dalam RUU TPKS, Penyidik Tidak Boleh Tolak Perkara dan Wajib Memproses

Sebaliknya, jika pemerintah mengikuti siapa pun bisa melapor, masyarakat yang minta itu dihapus akan bersuara.

Di kasus lain pemerintah tetap mendengarkan aspirasi masyarakat. Seperti dicabutnya dua pasal terkait mengenai advokat curang dan pasal mengenai praktik dokter gigi.

Kemudian pasal mengenai penodaan agama, sehingga ada perubahan yang signifikan dan merevisi pasal mengenai aborsi. 

"Kita juga mencari titik tertentu agar tolak tarik itu paling tidak berada di tengah. Karena tidak mungkin 100 persen membuat RUU KUHP di multi etnis," ujar Eddy.

Adapun RUU KUHP ini sudah melalui perjalanan panjang. Jika dihitung masuk ke DPR, RUU KUHP sudah memakan waktu 59 tahun sejak tahun 1963.

Namun jika dilihat dari proses penyusunan RUU KUHP sudah memakan waktu 64 tahun sejak tahun 1958.




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x