Kompas TV nasional berita utama

ICW Beri Rapor Merah KPK yang Dipimpin Firli Bahuri

Kompas.tv - 30 Desember 2021, 15:22 WIB
icw-beri-rapor-merah-kpk-yang-dipimpin-firli-bahuri
Indonesia Corruption Watch (ICW) memberikan Rapor Merah lewat aksi teatrikal untuk18 Tahun KPK yang kini dipimpin Firli Bahuri. (Sumber: istimewa)
Penulis : Ninuk Cucu Suwanti | Editor : Purwanto

JAKARTA, KOMPAS.TV- Indonesia Corruption Watch (ICW) memberikan Rapor Merah lewat aksi teatrikal untuk18 Tahun KPK yang kini dipimpin Firli Bahuri.

Melalui keterangan tertulis, Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menuturkan aksi teatrikal dengan judul “Rapor Merah untuk Delapan Belas Tahun KPK” dilakukan untuk merespons hari ulang tahun KPK, 29 Desember 2021.

“Sebagaimana diketahui, KPK mengalami kemunduran yang luar biasa besar di era kepemimpinan Firli Bahuri,” kata Kurnia Ramadhana, Kamis (30/12/2021).

Kurnia menuturkan dalam rapor ICW tertuang sejumlah permasalahan yang tak kunjung bisa dituntaskan oleh Pimpinan KPK saat ini.

“Pertama, pemberhentian paksa pegawai berintegritas. Sebagai konsekuensi perubahan regulasi yang menempatkan KPK masuk dalam rumpun kekuasan eksekutif, seluruh pegawai KPK pun harus ikut beralih status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN),” ujarnya.

Pada akhirnya, kata Kurnia, momentum ini justru dimanfaatkan oleh Pimpinan KPK untuk menyingkirkan puluhan pegawai KPK melalui alas hukum Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 yang di dalamnya memuat tentang TWK.

“Dalam pelaksanaannya, proses TWK sendiri ditemukan banyak persoalan. Hal ini setidaknya dinyatakan oleh dua lembaga negara, yakni Ombdusman RI terkait maladministrasi dan Komnas HAM yang menyoal pelanggaran hak asasi manusia,” ucap Kurnia.

“Bahkan, pernyataan Presiden Joko Widodo dan putusan Mahkamah Konstitusi terkait alih status pegawai KPK pun diabaikan begitu saja oleh Pimpinan KPK,” tambahnya.

Baca Juga: Stepanus Robin Siap Bongkar Peran Lili Pintauli, KPK Justru Anggap Persoalannya Sudah Selesai

Kedua, lanjut Kurnia, pada periode pimpinan KPK jilid V ini, terdapat dua pimpinan yang dinyatakan melanggar kode etik, yakni Firli Bahuri dan Lili Pintauli Siregar.

Sayangnya, meski telah diputus melanggar etik, kedua pimpinan tersebut justru hanya diberikan sanksi ringan.

“Hal ini menandakan bahwa keberadaan Dewan Pengawas KPK tidak berfungsi efektif untuk mengawasi, mengevaluasi, dan memberikan efek jera jika ada Insan KPK yang melanggar kode etik,” kata Kurnia.

Ketiga, sambung Kurnia, anjloknya kinerja penindakan dan menjadi fase yang paling buruk sepanjang lembaga antirasuah itu berdiri.

Metode pengusutan perkara dengan melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) menurun drastis sejak dua tahun terakhir.

“Padahal, selama ini OTT kerap kali menjadi andalan untuk membongkar praktik korupsi yang banyak melibatkan pejabat publik. Berdasarkan data yang ICW himpun, sepanjang tahun 2021 KPK tercatat hanya melakukan enam kali OTT,” ujar Kurnia.

“Jumlah ini terbilang sedikit jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, misalnya, tahun 2016 (17 OTT), 2017 (19 OTT), 2018 (30 OTT), 2019 (21 OTT), dan 2020 (7 OTT),” tambahnya.

Selain itu atau keempat, Kurnia menuturkan dalam cermat ICW kinerja Pimpinan KPK dipenuhi dengan gimmic politik.

Satu di antaranya adalah saat KPK sedang disorot oleh masyarakat perihal kegagalan meringkus Harun Masiku, Firli justru menunjukkan kebolehannya memasak nasi goreng.

Baca Juga: Pandemi Covid-19 Mereda, KPK Segera Tangkap Harun Masiku

“Tak lepas dari itu, saat pembagian bantuan sosial oleh Menteri Sosial, ia juga turut serta dalam kegiatan itu. Semestinya sebagai aparat penegak hukum, Pimpinan KPK dapat menghindari seremonial-seremonial semacam itu,” katanya.

Kelima, ICW menilai KPK telah terbukti gagal dalam meringkus buronan. Sebut saja Kirana Kotama (2017), Izil Azhar (2018), Surya Darmadi (2019), dan Harun Masiku (2020).

“Dari buronan-buronan itu, praktis nama Harun Masiku selalu menjadi pusat perhatian masyarakat. Bagaimana tidak, sejak awal penanganan perkara suap PAW anggota DPR RI itu, KPK sudah menunjukkan keinginan untuk tidak memproses hukum penyuap Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, tersebut,” ucap Kurnia.

“Indikasi terhadap kesimpulan itu bisa ditarik dari sejumlah kejadian, misalnya, minimnya perlindungan Pimpinan KPK terhadap pegawai yang diduga disekap di PTIK, kegagalan penyegelan kantor DPP PDIP, pengembalian paksa Penyidik KPK ke instansi Polri, dan pemberhentian pegawai yang ditugaskan mencari Harun Masiku melalui proses TWK,” tutup Kurnia.




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x