Kompas TV nasional berita utama

ICW: Ada Kekeliruan Mendasar dari Penetapan Hakim Tipikor Saat Menganulir Upaya Hukum Korban Bansos

Kompas.tv - 29 Desember 2021, 07:37 WIB
icw-ada-kekeliruan-mendasar-dari-penetapan-hakim-tipikor-saat-menganulir-upaya-hukum-korban-bansos
Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri ke Dewan Pengawas atas dugaan pelanggaran kode etik (Sumber: SUBANDI / KOMPAS TV)
Penulis : Ninuk Cucu Suwanti | Editor : Gading Persada

JAKARTA, KOMPAS.TV- Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan ada kekeliruan mendasar dari penetapan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta ketika menganulir upaya hukum korban korupsi bansos.

Hal tersebut disampaikan Peneliti ICW Kurnia Ramadhana berdasarkan pendapat para eksaminator secara umum.

Sebagai informasi, Tim Advokasi Korban Korupsi Bansos yang terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Indonesia Corruption Watch, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Visi Integritas Law Office, change.org, Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM, dan Lokataru meluncurkan laporan eksaminasi atas penetapan hakim yang menolak penggabungan perkara gugatan ganti kerugian para korban korupsi bansos.

Adapun akademisi yang tergabung sebagai majelis eksaminasi terdiri dari, Agustinus Pohan (Dosen FH UNPAR), Ahmad Sofian (Dosen FH Universitas Binus), Fachrizal Affandi (Dosen FH UNBRAW), Leopold Sudaryono (Ahli Kriminologi), dan Elisabeth Sundari (Dosen FH Universitas Atmajaya Yogyakarta).

“Sebagaimana diketahui, para korban korupsi bansos itu sedang mengupayakan pemulihan hak-haknya yang telah dirampas oleh pelaku korupsi, salah satu diantaranya mantan Menteri Sosial, Juliari P Batubara,” kata Kurnia Ramadhana dalam keterangannya kepada KOMPAS.TV, Rabu (29/12/2021).

Baca Juga: KPK Gandeng TNI AL Siapkan Rutan untuk Koruptor

Betapa tidak, akibat praktik korupsi tersebut, paket bantuan sosial berupa sembilan bahan pokok itu kualitasnya sangat buruk.

Maka dari itu, 18 masyarakat yang berdomisili di sekitaran Jakarta mengajukan perlawanan hukum dengan menggunakan mekanisme penggabungan perkara gugatan ganti kerugian (Pasal 98 KUHAP).

“Alih-alih diperiksa dan dikabulkan, langkah hukum mereka justru ditolak dengan alasan yang sangat janggal, yakni kewenangan relatif pengadilan,” ujar Kurnia.

“Sederhananya, pandangan majelis hakim, permohonan hukum para korban itu keliru, karena tidak sesuai dengan domisili tergugat, dalam hal ini Juliari di Jakarta Selatan,” tambahnya.

Kurnia dalam keterangannya menyampaikan konstruksi argumen majelis hakim itu sangat mungkin diperdebatkan. Sebab, Pasal 98 KUHAP sama sekali tidak mensyaratkan ketentuan domisili tergugat sebagai dasar untuk mengajukan perlawanan hukum.

Baca Juga: Percepat Vaksinasi, Mendagri Izinkan Pemda Gunakan Bansos untuk Tarik Minat Warga

Apalagi jika dicermati lebih dalam, syarat yang tertera dalam Pasal 98 KUHAP terdiri dari:

1) adanya kerugian yang dirasakan oleh seseorang;

2) penggugat merupakan korban langsung dari tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa;

3) hubungan antara kejahatan dengan kerugian (kausalitas) harus bisa dijelaskan;

4) permohonan diajukan sebelum penuntut umum membacakan surat tuntutan.

“Dalam dokumen yang diserahkan ke Pengadilan Tipikor, praktis seluruh persyaratan itu telah dipenuhi dan dijelaskan secara rinci oleh para korban, akan tetapi majelis hakim mengabaikan argumentasi-argumentasi yang disampaikan oleh penggugat,” ucap Kurnia.

“Dari sini bisa dilihat perspektif majelis hakim belum meletakkan korban sebagai entitas penting dalam suatu perkara yang harus dipulihkan hak-hak dasarnya,” tambahnya.

Selain itu, Pasal 98 KUHAP itu dibentuk dengan tujuan efisiensi bagi korban untuk memperoleh kembali hak-hak dasarnya yang hilang akibat suatu tindak pidana.

Baca Juga: ICW: Pelemahan KPK di Bawah Kepemimpinan Firli Bahuri Teridentifikasi dalam 5 Hal, Ini Ulasannya

Menjadi hal yang tidak masuk akal, jika kemudian majelis hakim PN Tipikor Jakarta justru meminta para korban menempuh gugatan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

“Lagi pun, Pasal 98 KUHAP dapat dianggap sebagai turunan Pasal 35 Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC) yang mengatur kewajiban negara-negara peserta (termasuk Indonesia) untuk mengatur mekanisme pemulihan korban korupsi,” ujar Kurnia.

“Penetapan PN Tipikor itu justru bertolak belakang dengan semangat pemulihan korban sebagaimana diharapkan oleh UNCAC.”

Penting untuk ditekankan pula, kata Kurnia, upaya pemulihan korban korupsi bansos ini belum selesai. Sebab, Tim Advokasi Korban Korupsi Bansos yang mendampingi para penggugat telah mengajukan upaya hukum kasasi atas penetapan majelis hakim pada akhir Juli lalu.

Alasannya sangat kuat, Pasal 253 ayat (1) KUHAP menjelaskan bahwa salah satu alasan untuk mengajukan upaya hukum kasasi ketika peraturan hukum diterapkan tidak sebagaimana mestinya,” kata Kurnia.

Baca Juga: ICW Respons 2 Tahun Kinerja Komisioner KPK: Kepemimpinan Penuh Gimmick Politik

“Jadi, dikaitkan dengan konstruksi eksaminasi ini, yang mana menghasilkan kesimpulan bahwa majelis hakim Pengadilan Tipikor telah keliru menafsirkan Pasal 98 KUHAP, maka sudah selayaknya Mahkamah Agung segera mengeluarkan putusan dan mengabulkan seluruh dalil para korban korupsi bansos,” ujarnya.

“Putusan Mahkamah Agung ini akan menjadi penentu nasib pemulihan korban korupsi pada masa mendatang.”



Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x