Kompas TV nasional hukum

Aktivis Hak Anak: Kebiri Itu Mengobati, Beri Hukuman Mati Saja untuk Predator Seksual

Kompas.tv - 11 Desember 2021, 15:29 WIB
aktivis-hak-anak-kebiri-itu-mengobati-beri-hukuman-mati-saja-untuk-predator-seksual
Ilustrasi hukuman mati untuk pelaku kejahatan seksual. Wacana kebiri ramai dibicarakan terkait hukuman untuk pelaku pemerkosaan santriwati oleh guru pesantren. (Sumber: shutterstock via Kompas.com)
Penulis : Ahmad Zuhad | Editor : Fadhilah

JAKARTA, KOMPAS.TV - Kasus pemerkosaan santriwati oleh guru pesantren di Bandung membuat masyarakat Indonesia marah. Wacana kebiri untuk pelaku kejahatan seksual pun kembali ramai dibicarakan.

Perlu diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 tahun 2020 yang mengatur hukuman kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik pada pelaku kejahatan seksual pada anak.

Akan tetapi, kebiri kimia juga mengundang perdebatan karena dianggap tidak menyelesaikan masalah dan menghabiskan banyak biaya.

Salah satu pihak yang mempertanyakan efektivitas hukuman kebiri adalah aktivis hak anak dari Lentera Anak Foundation dan psikolog forensik Reza Indragiri Amriel.

Baca Juga: Mantan Napi Pemerkosaan Jadi Polisi Gadungan, Bujuk Istri Orang Menikah dan Tilap Uang Rp80 Juta

“Jelas salah kaprah. Kebiri di Indonesia tidak diposisikan sebagai hukuman, melainkan sebagai perlakuan atau penanganan therapeutic. Jadi, bukan menyakitkan, kebiri justru pengobatan,” kata Reza dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.tv pada Sabtu (11/12/2021).

Reza mengakui bahwa kebiri dapat mengurangi risiko penjahat kelamin mengulangi perbuatannya. Namun, hal itu hanya dapat terjadi, bila pelaku sendiri memang ingin berubah.

“Ya, kebiri semacam itu menekan risiko residivisme. Tapi kebiri yang manjur seperti itu adalah kebiri yang dilakukan berdasarkan permintaan pelaku sendiri. Bukan keputusan sepihak dari hakim yang mengabaikan kehendak si predator,” jelas Reza.

Ia bahkan memperingatkan bahwa penjahat kelamin yang dipaksa kebiri malah akan menjadi predator lebih ganas.

“Kalau dia dipaksa kebiri, bersiaplah kelak menyambut dia sebagai predator mysoped. Pemangsa superbuas, superganas, itulah dia nantinya,” ucap Reza.

Sebab itu, ia malah lebih mendukung hukuman mati bagi penjahat kelamin. Untuk itu, ia menyebut, perlu ada revisi aturan.

“Kalau masyarakat mau predator dibikin sakit sesakit-sakitnya, ya hukuman mati saja. Tapi perlu revisi dulu terhadap UU Perlindungan Anak,” ujar Reza.

Baca Juga: 6 Fakta Dugaan Pencabulan terhadap Santriwati di Tasikmalaya oleh Gurunya

Reza pun mempertanyakan penerapan aturan yang ada saat ini terkait para pelaku kejahatan seksual.

Ia memberi contoh dalam penerapan hukuman bagi Emon, predator seks puluhan anak asal Sukabumi.

“Saya bertemu Emon (predator dari Sukabumi) sebelum dia dijebloskan ke penjara sekian tahun silam. Dia punya dua cita-cita kelak setelah keluar dari penjara: menjadi penyanyi dangdut dan bikin pesantren,” tutur Reza.

“Mari kita tanya Kemenkumham, bagaimana proses rehabilitasi dan reintegrasi Emon (untuk hidup normal di tengah masyarakat)? Kementerian ini luput dari tagihan masyarakat,” lanjutnya.

Kasus Herry Wirawan Perkosa 21 Santriwati

Seperti diketahui, guru pesantren asal Bandung bernama Herry Wirawan (36) memerkosa 21 santriwati di yayasan miliknya.

Akibat kekejian pelaku, para korban hamil dan melahirkan 10 orang anak. Salah seorang santriwati bahkan sudah memiliki dua anak di usia 14 tahun.

Dari seluruh korban, 11 anak di antaranya berasal dari Garut dan sedang mendapatkan pendampingan dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Garut.

Salah seorang pengurus RW, menyatakan bahwa aktivitas di lingkungan pesantren selama ini memang tertutup.

Kejaksaan Tinggi Jawa Barat juga tengah menyelidiki temuan baru, di antaranya, dugaan penyelewengan dana bantuan untuk pesantren yang dilakukan pelaku.

Kasus pemerkosaan santriwati itu pertama kali dilaporkan kepada kepolisian pada pertengaha 2021.

Namun, kasus ini baru diketahui publik ketika sidang ketujuh dengan agenda mendengar keterangan saksi di Pengadilan Negeri Bandung, Selasa (7/12/2021) lalu.

Baca Juga: 4 Mahasiswa PTN di Aceh Jadi Korban Pelecehan Seksual, Dosen Kirim Pesan Mesum




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x