Kompas TV nasional sapa indonesia pagi

Jeritan Hati Guru Honorer Terganjal Seleksi PPPK, Sepatu Butut hingga Stroke Jadi Saksi

Kompas.tv - 21 September 2021, 11:45 WIB
jeritan-hati-guru-honorer-terganjal-seleksi-pppk-sepatu-butut-hingga-stroke-jadi-saksi
(Sumber: -)
Penulis : Iman Firdaus

JAKARTA, KOMPAS.TV- Imas Kustiani (53) begitu semangat saat diminta bercerita pengalamannya ikut tes seleksi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Kepada KOMPAS TV di program "Sapa Pagi" Selasa (21/9/2021), Imas yang ditemani suaminya, sangat berharap dia bisa diangkat jadi ASN PPPK. "Saya ingin diangkat," katanya dengan suara pelo karena terserang stroke. 

Perjuangan Imas ikut test PPPK memang mengharukan. Guru honorer di Kabupaten Karawang, Jawa Barat,  ini datang ke lokasi test sambil bertongkat.

Karena tak kuat lagi jalan, Imas sampai harus digendong petugas agar bisa duduk di tempat test menghadap komputer yang sudah disediakan.


Imas datang ke tempat seleksi di SMAN 3 Karawang menggunakan tongkat dibantu suaminya, Nana Suhana (54).

Nana pun menceritakan kondisi isterinya, yang terserang stroke dan harus rajin terapi. "Kalau sudah bisa diterima, bisa untuk nambah buaya terapi," ujar Nana dengan mata berkaca-kaca.

Baca Juga: Meski Belasan Tahun Mengabdi, Guru Honorer Masih Terganjal Seleksi

Bahkan sebelum sakit, Imas bersama rekan-rekannya aktif memperjuangkan hak para guru honorer untuk diangkan sebagai PNS. "Sejak dulu dia semangat, sudah beberapa kali ikut seleksi CPNS sejak 2013," ujar Nana.

Hal senada juga terjadi pada seorang guru honorer di Nusa Tenggara Barat (NTB). Kisah guru yang tak disebutkan namanya itu diposting oleh seorang guru SMK Negeri Raya di Lombok Tengah,  Novi Khassifa yang juga petugas dalam tes PPPK.

Novi menuliskan postingannya, sambil berurai  air mata,  dengan judul "Surat Cinta untuk Nadiem Makarim".

Guru yang diposting oleh Novi adalah seorang guru honorer berusia 57 tahun dan ikut test PPPK. Yang menarik, Novi memposting sepatu lusuh yang digunakan oleh guru honorer tersebut.
   
"Yang terhormat, mas menteri Nadiem Makarim, tak adakah rasa ngilu di dalam dada mas menteri melihat sepatu tua yang lusuh ini? Memang benar sepatu tua ini terlihat bermerek, tetapi tahukah ini hanya sepatu loak afkiran," bunyi surat cinta itu.

Dalam suratnya, Novi menyebut ada harapan saat PPPK dibuka kepada para guru honorer.  


"Tahun ini mas menteri memberikan secercah harapan untuk beliau. Program PPPK untuk memberikan harapan kehidupan yang lebih layak. Tetapi tahukah mas menteri? soal-soal yang mas menteri berikan hanya teori belaka saja. Tak sebanding dengan praktik pengabdian berpuluh-puluh tahun lamanya," lanjutnya.


Selama puluhan tahun, guru tersebut berstatus honorer dan bergaji sangat kecil. Hingga kemudian, seleksi PPPK tahun 2021 sempat memberikannya secercah harapan untuk mengubah nasib agar mendapat upah yang lebih layak sebagai guru.

Selama mengajar, guru honorer itu  hanya digaji Rp500 ribu sebulan. Tentu saja tak cukup buat membeli sepat baru, yang sudah lama dia gunakan selama puluhan tahun. 

Lebih sedihnya lagi, meski telah mengikuti seleksi PPPK, guru honorer tersebut tak mampu meraih passing grade yang telah ditetapkan. Jangankan lulus, sang guru tersebut bahkan tak pandai menggunakan mouse, hal yang sangat mudah bagi yang punya komputer.

Baca Juga: Kisah Seorang Guru Honorer Alih Profesi Dagang Asongan


Melihat kondisi yang memprihatinkan tersebut, Ketua Komisi X Saiful Huda menyebut tes PPPK bagi guru honorer sudah tidak berkeadilan. "Kondisi ini tidak normal. Saya tidak setuju dengan seleksi PPPK ini. Ini kan darurat, harus ada afirmasi," kata Huda kepada KOMPAS TV. 

Politikus PKB ini berharap Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi melakukan revisi terhadap test PPPK ini. Apalagi, tingkat kelulusannya hanya 1,2 persen secara keseluruhan. 


Hal yang sama diungkapkan oleh Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi. Menurutnya, test PPPK sangat tidak adil. Buktinya, sudah ada lebih dari 19 ribu pengaduan dari guru honorer terkait tes ini. 

Tes yang diberikan pun terbilang sangat sulit. Misalnya, tes matematika sebanyak 100 soal dengan durasi 120 menit, mirip soal untuk peserta Olimpiade Matematika. "Ini memang perjuangan panjang para guru honorer. Mereka ikut membantu pendidikan saat ini," ujarnya.

Baik Huda maupun Unifah berharap sekali ini pemerintah berpihak kepada guru honorer. 
       
 




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x