Kompas TV nasional berita utama

RKUHP Memuat Pasal Penghinaan, YLBHI: Apa Bedanya Dengan KUHP Peninggalan Kolonial

Kompas.tv - 8 Juni 2021, 15:16 WIB
rkuhp-memuat-pasal-penghinaan-ylbhi-apa-bedanya-dengan-kuhp-peninggalan-kolonial
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati (Sumber: kompas tv)
Penulis : Ninuk Cucu Suwanti | Editor : Purwanto

JAKARTA, KOMPAS.TV- Keberadaan pasal untuk delik aduan pada draf terbaru Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang menyoal ancaman bagi penghina Presiden dan Wakil Presiden dinilai aneh.

Penilaian itu disampaikan oleh Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati kepada Kompas.TV, Selasa (8/6/2021).

“Delik aduan lebih baik, meski tetap aneh, karena esensinya Presiden kan lembaga negara, bukan orang,” kata Asfinawati.

Asfinawati mengaku heran dalam pemerintahan yang menjunjung nilai-nilai demokrasi tetapi rakyatnya dibatasi dalam bersikap kritis.

“Presiden, DPR itu memang harus dikritik karena lembaga publik. Kalau nggak boleh dikritik, maka namanya bukan demokrasi lagi,” katanya.

Baca Juga: YLBHI Sebut Pemerintah Tidak Perbaiki 24 Poin Masalah dalam RKUHP Meski Ditolak Masyarakat

Asfinawati lebih lanjut menilai draft terbaru dalam RUKHP yang memuat pasal ancaman bagi penghina presiden dan wakil presiden justru menujukkan tidak ada bedanya dengan KUHP peninggalan colonial.

“Kalau begitu apa bedanya RKUHP dengan KUHP peninggalan kolonial,” ujarnya.

Sebelumnya Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Syarief Hiariej mengatakan pasal penghinaan yang ada dalam RKUHP merupakan delik aduan.

Ia menegaskan pasal penghinaan terhadap kepala negara di RKUHP, berbeda dengan pasal yang pernah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi.

“Kalau dalam pembagian delik, pasal penghinaan yang dicabut oleh Mahkamah Konstitusi itu merupakan delik biasa,” jelas dia.

Baca Juga: RKUHP Kembali Munculkan Pasal Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden, Penjara 4,5 Tahun

Sementara, dalam RKUHP sudah menjadi delik aduan dimana Presiden dan Wakil Presiden harus membuat laporannya sendiri terhadap orang-orang yang diduga melakukan penghinaan.

“Kalau delik aduan itu yang harus melapor sendiri adalah presiden atau wakil presiden,” ujar Edward Omar Syarief Hiariej.

Sebagai informasi, draft RKUHP terbaru memuat ancaman hukuman pidana maksimal 4 tahun 6 bulan bagi penghina Presiden dan Wakil Presiden.

Ketentuan tersebut tertuang dalam pasal 218 ayat 1 dan Pasal 219 yang berbunyi:

Pasal 218

(1) Setiap orang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau denda paling banyak kategori IV.

(2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

Pasal 219

Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Pasal 220

(1) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan.

(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden.




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x