Kompas TV nasional hukum

Tak Berdasar Menurut Hukum, MK Tolak Sepenuhnya Gugatan iNews TV dan RCTI soal UU Penyiaran

Kompas.tv - 14 Januari 2021, 14:39 WIB
tak-berdasar-menurut-hukum-mk-tolak-sepenuhnya-gugatan-inews-tv-dan-rcti-soal-uu-penyiaran
Petugas keamanan melintas di depan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (23/5/2019). (Sumber: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Penulis : Deni Muliya

JAKARTA, KOMPAS.TV - Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Tapi, hari ini, Kamis (14/1/2021), majelis hakim MK menolak gugatan yang diajukan oleh PT Visi Citra Mitra Mulia (iNews TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) itu.

Baca Juga: Hadapi Penyiaran Digital KPID Riau Gelar Workshop Penyiaran

Sebelumnya, pihak Inews TV dan RCTI mempersoalkan Pasal 1 angka 2 UU tersebut yang menyebut bahwa “Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran”. 

Oleh pemohon, pasal itu dinilai menyebabkan perlakuan yang berbeda antara penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan frekuensi radio dan penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet seperti YouTube serta Netflix. 

Hal ini karena Pasal 1 Angka 2 UU Penyiaran hanya mengatur penyelenggara penyiaran konvensional dan tak mengatur pengelenggara penyiaran terbarukan. 

"Karena tidak adanya kepastian hukum penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT (over the top) a quo masuk ke dalam definisi penyiaran sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 2 UU Penyiaran atau tidak, telah menyebabkan sampai saat ini penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT tidak terikat dengan Undang-Undang Penyiaran,” kata Kuasa Hukum pemohon, Imam Nasef, dalam sidang pendahuluan yang digelar Senin (22/6/2020) di Gedung MK, Jakarta Pusat. 

Dalam gugatannya, pemohon merasa dirugikan karena adanya diskriminasi dalam sejumlah hal, misalnya, untuk dapat melakukan aktivitas penyiaran, pemohon harus lebih dulu berbadan hukum Indonesia hingga memperoleh izin siaran. 

Sementara itu, penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet tidak perlu memenuhi persyaratan tersebut. 

Selain itu, dalam menyelenggarakan aktivitas penyiaran, pemohon juga harus tunduk pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran (P3SPS). 

Jika terjadi pelanggaran, ada ancaman sanksi yang bakal diberikan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
 
"Sementara bagi penyelenggara siaran yang menggunakan internet tentu tidak ada kewajiban untuk tunduk pada P3SPS sehingga luput dari pengawasan," tutur Imam. 

"Padahal faktanya banyak sekali konten-konten siaran yang disediakan layanan OTT yang tidak sesuai dengan P3SPS dimaksud," imbuhnya, menegaskan.

Atas alasan-alasan tersebut, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 1 Angka 2 UU Penyiaran bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Namun demikian, majelis hakim konstitusi menilai gugatan yang diajukan iNews TV dan RCTI tersebut tidak berdasar menurut hukum.

"Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah ubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang 24 Tahun 2003 tentang Mahkmah Konstitusi amar putusan mengadili menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang putusan yang disiarkan secara daring, Kamis (14/1/2021). 

Majelis hakim konstitusi lainnya, Enny Nurbaningsih menjelaskan, gugatan yang diajukan oleh Inews dan RCTI tidak berdasar seluruhnya. 

Baca Juga: Menjaga Indonesia Dan Perbatasan Melalui Penyiaran Digital

Majelis menilai, pengawasan konten over the top (OTT) bisa dilakukan melalui UU ITE, sementara sanksinya juga telah diatur UU ITE dan UU lain yang berkaitan dengan pelanggaran konten OTT. 

"Apabila tindak pidana menyangkut kesusilaan atau eksploitasi seksual terhadap anak maka pemidanaannya diperberat dengan sepertiga dari pidana pokok," ujar Enny. 

"Pemberatan ini juga diperberat bagi korporasi yang melanggar perbuatan yang dilarang dalam UU 11 2008 yang dipidana dengan pidana pokok ditambah 2/3," imbuhnya.

Selain pengawasan berdasarkan UU ITE, pengawasan juga didasarkan pada berbagai UU sektoral lainnya yang sesuai dengan konten layanan dilanggar. 

"Misalnya dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008, Undang-Undang 28 2014, Undang-Undang 7 Tahun 2014, KUHP, Undang-Undang 40 Tahun 1999 dengan telah ditentukannya aspek menegakkan hukum atas konten pelanggaran OTT dalam UU ITE, UU 36 Tahun 1999 dan berbagai UU sektoral baik dengan pengenaan sanksi administratif maupun sanksi pidana," kata Enny, menegaskan.




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x