Kompas TV kolom opini

Myanmar, Demokrasi di Ujung Laras

Kompas.tv - 16 November 2022, 21:41 WIB
myanmar-demokrasi-di-ujung-laras
Bangku yang disediakan untuk negara Myanmar tidak diisi oleh perwakilan negaranya saat KTT ASEAN 2022 di Hotel Sokha, Phnom Penh, Kamboja, Jumat (11/11/2022). Dalam KTT ASEAN 2022 di Phnom Penh, Kamboja ini diantaranya membahas isu-isu utama yakni krisis Myanmar. (Sumber: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Kekayaan keluarga mereka yang berkelanjutan akan terancam oleh pemerintah baru mana pun yang dapat menghukum korupsi, mengambil alih tanah yang mereka kuasai, menyita rekening bank asing yang akan menjadi bukti betapa mereka korup.

Karena itu, penguasa militer lalu mendirikan Burma Socialist Programme Party (Partai Program Sosialis Burma/BSPP), atau Lanzin, sebagai instrumen politik militer. (Partai lainnya yang didirikan militer adalah National Unity Party/Partai Persatuan Nasional dan Union Solidarity and Development Party/Partai Pembangunan dan Solidaritas Bersatu)

BSPP bertujuan untuk mendirikan "negara demokratik sosialis" didasarkan pada seperangkat prinsip-prinsip yang biasa disebut "The Burmese Way to Socialism." Kata Michael W Charney (The Conversation, 3 Februari 2021), "The Burmese Way to Socialism" adalah gabungan dari duddhisme dan marxisme.

Ideologi baru itu, mengakhiri institusi-institusi demokrasi dan kebebasan sipil. Nasionalisasi ekonomi dan memaksa para petani menjual produk mereka kepada pemerintah, menghapus insentif dan akibatnya menghancurkan perekonomian. Meskipun mereka menyatakan kesejahteraan petani dan buruh dipromosikan sebagai prioritas utama nasional (globalsecurity.org).

Para jenderal menggunakan tindakan-tindakan ekstrem untuk menguasai rakyat (dengan melakukan kontrol interaksi sosial ketat, membatasi mobilitas, dan informasi termasuk dengan menyensor) dan membangun tembok tebal agar rakyat tidak terpengaruh dunia luar. Militer berusaha memperkuat posisi dominan atas mayoritas etnik Bamar (68 persen) beragama Buddha.

Jalan Machiavellian

Untuk semakin memperkuat posisinya, perlawanan yang dilakukan etnik non-Bamar dan agama minoritas, seperti etnis Rohingya (4 persen), Karen (7 persen), Shan (9 persen), Kachin (1,5 persen), Chin (2,5 persen), Kayah (1,83 persen), dan Mon (2 persen) dihadapi dengan tindakan brutal (data tahun 2016, saat penduduk Myanmar 51,4 juta jiwa; minorityrights org; ). Myanmar memiliki 135 grup etnik.

Militer menyerbu dan menghancurkan desa-desa tempat komunitas minoritas itu ada dan hidup, serta mengusir mereka keluar desa. Ini menyebabkan ribuan orang terpaksa menjadi pengungsi, masuk negara tetangga.

Menurut data PBB yang dikutip Denis D Gray (Nikkei Asia, 31 Maret 2021) tahun 2017 militer membabat minoritas Rohingnya Muslim: lebih dari 860.000 orang Rohingya diusir dari Myanmar, menyusul 300.000 orang lainnya yang sudah mengungsi ke Bangladesh.

Itulah salah satu bukti yang oleh Michael Breen dan Dr Anne Decobert dalam Melbourne Asia Review, edisi 5, 15 Februari 2021, dikatakan kekuasaan institusional militer dipertahankan dengan berbagai cara. Misalnya, selain lewat pembasmian etnis seperti terhadap Rohingnya, juga lewat aturan, dekrit, partai politik yang didirikan dan dikendalikannya, serta melalui ketentuan konstitusi tertulis yang tidak dapat diubah tanpa persetujuannya.

Hal itu bisa terjadi, karena kata Nian Peng dalam A Comparison Study of Military’s Role in Democratization in Myanmar and Indonesia, di Myanmar ada tradisi panjang dalam militer bahwa Tatmadaw semestinya terlibat dalam politik. Sebab, militer adalah pelindung negara (researchgate.net, Januari 2016).

Mengingat hal itu, sekalipun pada tahun 2011, pemerintahan sipil berfungsi, jabatan penting terutama menteri pertahanan, menteri perbatasan, dan menteri dalam negeri, diduduki oleh para jenderal atau purnawirawan jenderal.

Selain itu, militer juga menguasai seperempat jumlah kursi di parlemen (semacam Dwi Fungsi ABRI di zaman dulu). Tujuannya adalah untuk mencegah lahirnya keputusan yang oleh militer dianggap berbahaya dan akan merugikan kepentingan tentara.

Aturan seperti ini - "memberikan" jatah 25 persen jumlah kursi di setiap kamar Union Parlement (Myanmar menganut sistem parlemen bikameral: National Assembly atau Amyotha Hluttaw, di mana setiap state atau region memiliki jumlah kursi sama), dan People’s Assembly atau Pyithu Hluttaw, di setiap kota dengan satu kursi) yang ditunjuk oleh Panglima Tertinggi Militer - adalah suatu cara untuk menjamin dan memastikan kontrol militer terhadap negara.

Militer Berpolitik

Tentang peranan militer dalam politik seperti yang terjadi di Myanmar atau Thailand, kata Nian Peng, sudah lama menjadi bahan perdebatan. Beberapa sarjana berpendapat bahwa militer menghambat demokrasi, sementara yang lain berpendapat sebaliknya: para jenderal mendorong demokratisasi.

Mereka yang memegang pendapat pertama menyatakan bahwa sifat diktator militer, seperti disiplin dan kesetiaan dalam suatu hirarki, menentukan sikap anti-demokrasinya, sehingga merusak demokrasi. Tetapi, selain kedua pendapat tersebut, ada pendapat ketiga: militer terkesan netral dalam demokratisasi. Artinya, tidak menghalangi ataupun mendorong demokratisasi.

Apakah itu berarti kontrol sipil terhadap pemerintahan tak bisa diwujudkan? Kata ilmuwan politik Samuel Phillips Huntington (1927--2008), bisa.

Kontrol sipil yang objektif dapat dicapai dengan memaksimalkan profesionalisme militer, yang melibatkan pengakuan terhadap lingkungan militer yang independen di dalam pemerintahan dan pembagian kekuasaan yang jelas antara militer dan sipil.

Dengan kata lain, jika militer “profesional” dalam arti bahwa prioritas utamanya adalah menjaga keamanan nasional dari ancaman atau invasi dari luar, militer cenderung akan mengisolasi diri dari politik, dan karena itu menjaga sikap netral dalam demokratisasi.

Namun, hal semacam itu tidak terjadi di Myanmar. Sebab, militer tidak mengisolasi diri dari urusan politik, tetapi yang terjadi justru sebaliknya: militer menguasai dunia politik secara penuh.

Mimpi Buruk

Sebelum kudeta militer 1 Februari 2021, kata Angela Clare (Parlemen of Australia, 2 Juli 2021), Myamar diperintah dengan sistem power-sharing antara pemerintah sipil dan militer, berdasarkan Konstitusi 2008. Dengan ketentuan seperti itu, militer tidak akan pernah berada di bawah kekuasaan, kendali sipil.

Sebab, militer menguasai 25 persen kursi di parlemen serta tiga kementerian utama (pertahanan, dalam negeri, dan keamanan perbatasan) serta salah satu jabatan wakil presiden, seperti di atas sudah disinggung.

Tetapi, sekarang berkuasa penuh. Meskipun, setelah kudeta, berjanji akan mengembalikan kekuasaan sipil, dengan catatan bila berbagai kondisi sudah memenuhi syarat, menurut kacamata militer.

Janji semacam itu pernah dinyatakan oleh militer tahun 1958 setelah "kudeta konstitusional" dan militer mengawasi pemilihan yang relatif bebas tahun 1960 saat partai pilihan mereka kalah (seperti yang terjadi pada Pemilu 2020).

Tetapi, rasanya janji semacam itu lebih sulit diwujudkan. Pertanda semacam itu, seperti diberitakan BBC News (1 Agustus 2022) terlihat ketika Agustus lalu, penguasa junta militer menyatakan masa darurat atau masa pemerintahan militer, diperpanjang hingga 2023, dengan alasan karena situasi dalam negeri belum aman.

Dan jika, sejarah Myanmar sejak tahun 1962, bisa menjadi panduan yang andal untuk melihat yang terjadi sekarang ini, maka dunia (juga ASEAN) akan sekali lagi gagal mencegah negara itu tersungkur masuk lembah kelam di bawah rezim junta militer.

Tetapi jika sejarah Myanmar sejak 1962 adalah panduan yang andal bagi perjalanan sejarah bangsa, dunia akan kembali gagal mencegah negara itu terjun ke tahun-tahun kelam pemerintahan militer. Ini yang mungkin oleh Sekjen PBB, Antonio Guterres, sebut sebagai "unending nightmare", mimpi buruk tak berujung yang harus dihentikan.

 




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x