Kompas TV kolom opini

Myanmar, Noda Hitam ASEAN

Kompas.tv - 14 November 2022, 06:20 WIB
myanmar-noda-hitam-asean
KTT ASEAN 2022 di Phnom Penh, Kamboja tersebut membahas isu-isu utama yakni krisis Myanmar dan penerimaan Timor Leste menjadi anggota ASEAN ke-11. (Sumber: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/YU)

Sikap itu berbeda dengan negara-negara yang berbagi perbatasan dengan Myanmar. Misalnya, Laos dan Thailand; juga Vietnam dan Kamboja, meski tidak berbatasan langsung.

Thailand dan Myanmar berbagi perbatasan sepanjang 2.000 km. Realitas lapangan ini - juga karena militer berkuasa di Thailand dengan cara yang sama - membuat Bangkok bersikap berbeda dengan Jakarta, Kuala Lumpur, Singapura, dan Manila.

Kata Vongthep Arthakaivalvatee (Fulcrum, 17 Januari 2022), kebijakan luar negeri Thailand sebagian besar dipengaruhi oleh politik dalam negerinya, yang terfragmentasi dan terpecah-pecah. Bagaimanapun, Thailand mengalami warisan politik dari dua kudeta militer, satu pada tahun 2006 dan satu lagi pada tahun 2014.

Perdana Menteri Prayut Chan-ocha sangat menyadari kritik internasional tentang legitimasi rezimnya. Politisi yang mantan pemimpin militer Thailand itu meraih kekuasaan lewat kudeta militer, Mei 2014. Kemudian mengangkat dirinya sendiri sebagai perdana menteri pemerintahan militer, Agustus 2014. Dan, lewat pemilu "ketat" pada 2019, ia mempertahankan kekuasaannya.

Dengan latar belakang seperti itu, maka sikap politiknya terhadap Myanmar dan junta militer yang berkuasa di Myanmar, beda misalnya dengan Indonesia, Malyasia, dan Filipina.

Kubu Ketiga adalah negara-negara Barat yang menjatuhkan sanksi pada Myanmar, menawarkan bantuan kemanusiaan, dan mengambil sikap sangat retorik terhadap kudeta militer dan mendukung langkah ASEAN.

Bersikap "Mbalelo"

Pada pertemuan puncak di Jakarta pada 24 April 2021, sembilan pemimpin ASEAN dan kepala junta Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing, menyepakati lima poin berkait dengan situasi Myanmar. Ini adalah langkah ASEAN yang nyata, walau masing-masing berbeda pandangan dan sikap.

Kelima poin konsensus itu adalah: segera mengakhiri kekerasan di negara tersebut; dialog di antara semua pihak; penunjukan utusan khusus; bantuan kemanusiaan oleh ASEAN; dan kunjungan utusan khusus ke Myanmar untuk bertemu dengan semua pihak.

Tetapi, dua hari setelah kesepakatan konsensus, junta menarik kembali pengesahannya, mengumumkan akan mempertimbangkan “saran yang dibuat oleh para pemimpin ASEAN ketika situasi kembali stabil" (Human Rights Watch, 22 April 2022).

Menurut The Wire (19 Mei 2022), pemimpih junta militer Min Aung Hlaing menolak berunding dengan lawan-lawan politiknya. Padahal, dialog dengan semua pihak adalah salah satu butir konsensus.

Bahkan, militer tidak menghentikan tindakan kekerasan mereka sebagaimana dinyatakan dalam lima konsensus. Jumlah rakyat yang tewas terus bertambah sejah kudeta Februari 2021.

Tom Andrews, utusan khusus PBB untuk masalah hak asasi manusia di Myanmar (The Conversation, 28 Juli 2022) memberikan gambaran kebrutalan rezim militer. Junta telah membunuh paling kurang 1.600 penduduk sipil dan menyebabkan 500.000 orang tercerai-berai.

Separuh jumlah penduduknya (jumlah penduduk Myanmar 54 juta jiwa) jatuh miskin. Tiga belas juta orang menghadapi kerawanan pangan. Data terbaru PBB menunjukkan, lebih dari 857.000 mengungsi akibat kekerasan sejak kudeta 1 Februari 2021.

Dari fakta di lapangan, tergambar bahwa junta militer yang berkuasa tidak peduli pada usaha ASEAN, termasuk terhadap lima butir konsensus; tidak mau kerja sama dengan ASEAN untuk menciptakan perdamaian.

Ini adalah sebuah sikap tak terpuji dari Myanmar sebagai anggota ASEAN. Sikap Myanmar itu juga sangat mempermalukan ASEAN karena mengesankan ASEAN tak berdaya menghadapi ulahnya.

Barangkali benar pendapat Lina Alexandra, dari CSIS Jakarta, para pemimpin ASEAN gagal memahami militer Myanmar dan motivasinya. Kata Alexandra, mereka beranggapan militer Myanmar sama (dengan militer lain di kawasan ini). Padahal, mereka adalah semacam binatang politik, pilitical animal (Aljazeera, 3 Agustus 2022).

Rasanya, melihat realitas di lapangan hingga saat ini, kecil kemungkinan militer akan berhenti melakukan kekerasan terhadap rakyat. Selama militer masih berkuasa, maka mereka yang haus kekuasaan akan seperti itu.

Pada akhirnya, harus diakui bahwa penanganan krisis Myanmar di ASEAN mencerminkan perpecahan dalam organisasi dan sifatnya yang khas. Meskipun Piagam ASEAN menetapkan tujuan dan prinsip kerja organisasi yang luas, ia tidak memberikan pedoman yang jelas tentang cara menangani kudeta di negara anggota yang tidak hanya memicu ketidakstabilan domestik tetapi juga regional.

Padahal jelas, seperti dinyatakan dalam Deklarasi ASEAN. Bahwa ASEAN dibentuk sebagai perwakilan “kehendak kolektif negara-negara Asia Tenggara untuk mengikat diri bersama dalam persahabatan dan kerja sama dan, melalui upaya dan pengorbanan bersama, mengamankan rakyat mereka dan untuk berkat perdamaian, kebebasan, dan kemakmuran."

Rasanya, tidak bisa dipungkiri bahwa Myanmar menjadi batu sandungan terwujudnya tekad bersama itu. Maka, semestinya, Myanmar harus menanggung akibatnya.

Pertanyaan terakhirnya, beranikah ASEAN menjatuhkan tindakan tegas terhadap Myanmar saat ini?

Kalau pada KTT 40 di Phnom Penh tetap belum dijatuhkan "hukuman" keras bagi Myanmar, maka ini akan menjadi tugas berat Indonesia yang tahun depan akan menduduki kursi kepemimpinan ASEAN.




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x