Kompas TV kolom opini

Pasar Tradisional sebagai Jantung Perekonomian Lower Class

Kompas.tv - 17 Januari 2021, 07:25 WIB
pasar-tradisional-sebagai-jantung-perekonomian-lower-class
Pasar Tradisional (Sumber: Kompas.com)

Oleh: Ubaidillah Amin, Wakil ketua PP LAZISNU (NU Care)

Pandemi Covid 19 ini sudah hampir satu tahun menghantui Indonesia. Hingga saat ini pada 16 Januari 2020 kasus positif Covid mencapai 896.642 mendekati satu juta, dengan kasus aktif mencapai 143.517 orang.

Bayangkan, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh pemerintah saja melainkan masyarakat yang paling banyak menjadi sasaran virus berbahaya ini, hingga per hari ini juga total keseluruhan korban jiwa sebanyak 25.767.  

Dampak terbesarnya adalah perputaran perekonomian yang cenderung stagnan bahkan menurun. Pemerintah sendiri sampai kewalahan mengatur pola keuangan negara hingga akhirnya kebobolan resesi berkali-kali.

Berbicara ekonomi di tengah pandemi ini adalah bagaimana masyarakat terus menjalani aktivitas perekonomian dengan aman dan terus produktif, yaitu selain disiplin menerapkan protokol kesehatan juga dituntut menciptakan keterampilan dan inovasi dalam berwirausaha, apalagi di tengah kehimpitan ekonomi saat ini.  

Salah satu yang mengalami disrupsi akibat Covid ini yaitu peralihan praktik ekonomi dari offline ke online. Tujuan utamanya meminimalisir terjadinya kontak langsung antara pembeli dan penjual.

Tetapi tidak semua lapangan ekonomi mengalami disrupsi ini, salah satu contoh pasar tradisional yang sampai ini eksis dengan pola kontak langsungnya, dan ini yang menjadi kekhawatiran timbulnya klaster Covid.

Sebenarnya, tugas utama pemerintah (terutama Kementerian Perdagangan) saat ini adalah penataan dan revitalisasi pasar tradisional yang terkesan kumuh dan kotor, karena pasar ini tempat masyarakat kecil atau lower class untuk mengadu nilai barang komoditasnya.

Masyarakat kecil hanya menggantungkan hidupnya di pasar-pasar tradisional yang isinya bukan hanya pedagang dan pembeli saja tapi ada kuli angkut dan tukang ojek serta lainnya yang mengandalkan pasar tradisional sebagai tempat mata pencahariannya.

Begitu vital sebuah pasar yang menjadi sumber utama perekonomian warga harus didukung dengan penataan lokasi yang baik dan manajemen yang tertib, agar kenyamanan dan keamanan menjadi syarat utama masyarakat menjadikan pasar sebagai komoditas lower class. Karena di tengah pandemi ini minat masyarakat yang berbelanja di pasar tradisional menurun sehingga pedagang sangat merasakan dampaknya.

Menurut Survei Sosial Demografi Dampak Covid-19 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 69,43% responden mengaku khawatir atau sangat khawatir keluar rumah dan 20,69% cukup khawatir keluar rumah, hal ini semakin mempersulit keberadaan pasar tradisional sebagai tempat transaksi jual beli masyarakat.

Masalah lain yang dialami pedagang adalah naik turunnya harga komoditas. Baru-baru ini menjelang tahun baru hingga hari ini harga cabai melonjak drastis dari yang semula harga Rp60.000/kg menjadi Rp120.000-Rp130.000/kg padahal petani sendiri menjual harga Rp30.000-Rp40.000/kg.

Lonjakan seperti ini harus menjadi evaluasi bersama jangan sampai pihak lain memanfaatkan situasi ini di tengah himpitan ekonomi akibat pandemi ini.  

Analisis saya, lonjakan musiman ini sengaja dimainkan para tengkulak tanpa melihat situasi saat ini, seharusnya lebih mengedepankan pemerataan ekonomi antara petani, pedagang dan pembeli di pasar. Artinya antara supply and demand harus sesuai dan merata guna menghindari penimbunan.  

Rata-rata petani banyak yang terikat dengan tengkulak, karena mereka yang memodali pertaniannya sehingga hasil panennya pun sudah pasti dijual kepada para tengkulak dengan harga yang sudah ditentukan. Ini yang kadang petani suka mengeluh.

Belum lagi yang dikeluhkan oleh pedagang kecil yaitu maraknya ekonomi kapitalis menguasai pasar-pasar kecil, sehingga kita bisa melihat sendiri minimarket berjibun hingga ke pelosok-pelosok.

Sebenarnya analisa saya melihat hal tersebut bukan hanya kontestasi dan kompetisi tetapi memang pendominasian ekonomi tanpa melihat warung tradisional sekitar. Contoh, si A sudah lama membuka warung sembako di pinggir jalan dan strategis. Melihat lokasi yang strategis dibukalah minimarket di situ sehingga saat peresmiannya pengunjung pun membludak.

Benar memang, kalau kita kaji konsep modern minimarket ini cukup bagus, konsep penataan dan display barang-barang terkadang ada magnet tersendiri menbuat pengunjung terkecoh, yang tidak ada niat membelipun dari rumah kadang ketika di minimarket mereka memborong semua padahal harganya lebih mahal dari warung warga.

Konsep ini sebenarnya bisa kita terapkan di warung-warung tradisonal dengan lokasi yang cukup luas dan penataan rak yang baik serta sistem digitalisasi dengan pembayaran nontunai.

Saya sebagai seorang yang tumbuh besar di lingkungan pesantren mewakili saya dan sahabat-sahabat saya yang langsung berkecimpung di dunia dagang tradisional seperti penjabaran di atas berharap melihat perjalanan perekonomian masyarakat kecil ada peningkatan lebih baik, dengan intervensi pemerintah bisa merevitalisasi pasar tradisional dan menjaga harga komoditi stabilitas serta adanya aturan yang mengatur dominasi ekonomi kapitalis.

Karena hampir 60% alumni pesantren tradisional yang ada di Indonesia setelah tamat dari pesantren menggantungkan pendapatan ekonominya dari berdagang, sisanya bertani, beternak, dan sedikit yang menjadi pegawai.




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x