Kompas TV internasional kompas dunia

Imbas Tragedi Kanjuruhan, New York Times Sorot Polisi Indonesia: Kurang Terlatih, Seolah Kebal Hukum

Kompas.tv - 4 Oktober 2022, 18:25 WIB
imbas-tragedi-kanjuruhan-new-york-times-sorot-polisi-indonesia-kurang-terlatih-seolah-kebal-hukum
Polisi menembakkan gas air mata dalam kericuhan di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Barat, Sabtu (1/10/2022) malam. (Sumber: AP Photo/Yudha Prabowo)
Penulis : Ikhsan Abdul Hakim | Editor : Eddward S Kennedy

The New York Times menyorot peningkatan kekuatan kepolisian Indonesia setelah rezim Orde Baru. Kepolisian disebut diberi kewenangan lebih besar usai serangkaian reformasi pasca-kejatuhan Presiden Soeharto pada 1998.

“Dalam banyak kejadian, polisi memegang keputusan final apakan suatu kasus dapat diusut. Meneria suap itu sudah umum, kata para analis. Dan setiap tuduhan penyelewengan wewenang polisi sepenuhnya menjadi ranah para pejabat tinggi untuk menginvestigasi. Sebagian besar, kata organisasi-organisasi hak asasi manusia, mereka tidak diinvestigasi,” tulis New York Times.

Wakil Direktur Amensty International Indonesia, Wirya Adiwena menyebut, “hampir tidak pernah ada” pengadilan atas pengerahan kekuatan berlebihan oleh polisi.

Salah satu pengecualiannya adalah pada 2019, usai dua mahasiswa Universitas Halu Oleo, Sulawesi Tenggara ditembak mati aparat.

Sementara itu, Andri Prasetiyo, peneliti kebijakan publik yang menganalisis data pengadaan barang pemerintah menyorot anggaran besar polisi untuk pengadaan perlengkapan menghadapi demonstrasi, termasuk gas air mata.

Baca Juga: Viral Video Aremania Mohon Polisi Tak Tembaki Gas Air Mata di Tragedi Kanjuruhan

Dalam RAPBN 2023, anggaran kepolisian RI sendiri mencapai Rp107,8 triliun, sedikit turun dibanding tahun 2022 yang mencapai Rp108,4 triliun.

Para pakar yang meneliti kepolisian berpendapat, tahun 2019 menjadi titik balik penggunaan gas air mata oleh polisi. Tahun itu, gelombang protes pasca-Pilpres 2019 memicu kerusuhan besar di Jakarta.

Gas air mata pun menjadi andalan polisi untuk menghadapi kerusuhan. Menurut Andri, pengadaan gas air mata yang sempat turun setelah 2017, justru meningkat enam kali lipat pada 2020, setelah demonstrasi besar pada 2019.

Akan tetapi, walaupun penggunaan gas air mata telah menjadi hal yang umum untuk membubarkan massa, penanganan polisi saat Tragedi Kanjuruhan tetap mengejutkan berbagai pihak.

Terlebih lagi, di Stadion Kanjuruhan, pernah ada insiden tembakan gas air mata yang berujung kerusuhan pada 2018. Waktu itu, seorang remaja 16 tahun meninggal dunia.

Baca Juga: Kesaksian Penyintas Tragedi Kanjuruhan: Rusuhnya di Lapangan, Polisi Tembak Gas Air Mata ke Tribun

Usai Tragedi Kanjuruhan, Kapolda Jawa Timur Irjen Nico Afinta mengklaim pihaknya telah “sesuai prosedur” dalam mengamankan pertandingan. Ia menyebut gas air mata ditembakkan karena suporter menyerbu ke lapangan.

Meskipun demikian, “prosedur” polisi di Kanjuruhan tidak sesuai dengan FIFA Stadium Safety and Security Regulations. Dalam Regulasi BRI Liga 1 2022/23, peraturan FIFA itu dinyatakan sebagai rujukan dalam membuat rencana pengamanan pertandingan.

Pasal 19b FIFA Stadium Safety and Security Regulations sendiri menyatakan bahwa petugas dilarang membawa senjata api atau “gas pengontrol massa” alias gas air mata.

“Para ahli mengaku terkejut dengan respons kacau polisi di stadion (Kanjuruhan) pada Sabtu (1/10), mengingat kekerasan sepak bola cukup umum di negara itu, dengan bentrok yang kerap terjadi antara fans klub rival, serta bagaimana polisi harusnya punya pedoman untuk menghadapi setiap kerusuhan,” demikian tulis New York Times.

Baca Juga: Kisah Aremania Selamat, Bertahan Saat Gas Air Mata Ditembakkan Polisi ke Arah Tribun




Sumber : Kompas TV/The New York Times


BERITA LAINNYA



Close Ads x