Kompas TV internasional kompas dunia

Warga Perempuan Afghanistan Demo Kantor PBB, Desak Dunia Tekan AS Cairkan Aset Negara yang Dibekukan

Kompas.tv - 2 April 2022, 08:30 WIB
warga-perempuan-afghanistan-demo-kantor-pbb-desak-dunia-tekan-as-cairkan-aset-negara-yang-dibekukan
Ilustrasi. Seorang ibu Afghanistan memberi makan putranya yang sakit dan tengah menjalani perawatan di bangsal malnutrisi Rumah Sakit Anak Indira Gandhi, di Kabul, Afghanistan, 24 Februari 2022. Pada Jumat (1/4/2022), puluhan perempuan Afghanistan terlibat demonstrasi di luar kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Kabul menuntut komunitas internasional menekan AS untuk mencairkan aset Afghanistan di tengah krisis.  (Sumber: AP Photo/Hussein Malla)
Penulis : Ikhsan Abdul Hakim | Editor : Edy A. Putra

KABUL, KOMPAS.TV - Puluhan perempuan Afghanistan terlibat demonstrasi di luar kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Kabul, Jumat (1/4/2022). Demonstran menuntut PBB dan komunitas internasional menekan Amerika Serikat (AS) untuk mencairkan aset Afghanistan yang dibekukan.

Negara Afghanistan sendiri memiliki aset senilai sekitar tujuh miliar dolar AS yang dibekukan Washington usai Taliban mendepak pemerintahan Ashraf Ghani pada Agustus 2021 lalu.

Afghanistan sangat membutuhkan dana itu menyusul krisis ekonomi parah yang mendera. PBB memperkirakan, sekitar 23 juta orang terancam krisis pangan akut akibat terpuruknya ekonomi.

PBB sendiri mengaku butuh dana 4,4 miliar dolar AS untuk membantu Afghanistan.

Baca Juga: Bom dan Peluru Sisa Perang di Afghanistan Tewaskan 10 Orang, 5 di Antaranya Anak-Anak

Krisis Afghanistan diperburuk oleh keputusan pemerintahan Presiden Amerika Serikat Joe Biden yang hendak menyita sebagian aset milik bank sentral Afghanistan.

Gedung Putih berencana memakai setengah dari 7 miliar dolar AS aset Afghanistan itu untuk mengompensasi keluarga korban serangan 9/11.

Kebijakan Biden itu diberlakukan menyusul menangnya keluarga korban tragedi 9/11 yang menuntut di pengadilan AS.

Korban 9/11 ingin merebut aset Afghanistan sebagai kompensasi atas serangan yang didakwakan kepada Taliban dan Al-Qaeda.

Langkah AS itu pun dikecam oleh sejumlah pemerintahan dan organisasi hak asasi manusia.

“Mereka (AS) harus melepaskan uang kami. Anak-anak kami kelaparan. Mereka terpaksa memungut plastik di jalanan,” kata seorang demonstran di kantor PBB kepada Ariana News.

“Kami ingin komunitas internasional untuk menekan AS agar melepas aset Afghanistan yang dibekukan. AS telah melakukan banyak kejahatan selama 20 tahun terakhir di Afghanistan,” timpal Khatera Darweshi Saadat, seorang aktivis Afghanistan.

Kebijakan AS merampas aset Afghanistan sendiri menjadi kontroversi di kalangan pemerintah Taliban. Taliban memperingatkan bahwa mereka akan “mempertimbangkan kembali” kebijakan tentang AS jika keputusan Biden dieksekusi.

Baca Juga: Pengungsi Afghanistan di Indonesia Demo Minta Dipindahkan: 10 Tahun Tanpa Hak Manusia

Amnesty International menyebut keputusan pemerintah Amerika Serikat (AS) mengambil separuh dari aset Afghanistan yang dibekukan untuk diberikan kepada keluarga korban serangan 9/11, zalim.

"Keputusan itu tidak logis dan zalim. Ini harus dibatalkan," kata Amnesty International dalam pernyataannya, Selasa, 22 Februari 2022.

Amnesty mengatakan, pihaknya telah lama menyerukan agar para keluarga korban dan penyintas serangan teroris 11 September 2001 diberikan kompensasi.

"Tetapi aset mata uang asing Afghanistan bukan milik otoritas de facto Taliban atau para pelaku serangan tersebut. Dana ini yang dikumpulkan selama 20 tahun, adalah milik rakyat Afghanistan."

Sementara mantan Menteri Luar Negeri Inggris David Miliband merupakan salah satu di antara pihak-pihak yang mendesak pemerintahan Biden dan Bank Dunia untuk membebaskan aset Afghanistan tidak hanya untuk bantuan kemanusiaan tapi juga untuk pemulihan ekonomi Afghanistan.

"Apa yang kita lakukan bukan memperburuk kondisi bagi Taliban, ini memperburuk kondisi rakyat. Kita tidak sedang menghukum Taliban. Rakyat jelata Afghanistan lah yang membayar akibatnya," ungkap Miliband kepada The Guardian.

"Ini bukan saja malapetaka dalam hal pilihan, tapi juga malapetaka bagi reputasi. Ini kebijakan yang membiarkan orang-orang kelaparan."

Menurut Program Pangan Dunia (World Food Program/WFP), sekitar 23 juta orang, separuh dari total penduduk Afghanistan, tidak memperoleh makanan yang mencukupi baik secara kuantitas maupun gizi.

Sementara 8,7 juta orang terancam kelaparan.




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x