Kompas TV internasional kompas dunia

AS Tuduh China Kembangkan Senjata yang Mengontrol Otak, Bisa Bikin Lumpuh dan Kendalikan Lawan

Kompas.tv - 31 Desember 2021, 16:39 WIB
as-tuduh-china-kembangkan-senjata-yang-mengontrol-otak-bisa-bikin-lumpuh-dan-kendalikan-lawan
Bendera China. (Sumber: AP Photo / Andy Wong)
Penulis : Haryo Jati | Editor : Desy Afrianti

Baca Juga: Ketahuan Positif Covid-19 di Tengah Penerbangan, Perempuan Ini Karantina Diri di Toilet Pesawat

Laporan itu juga mengungkapkan ilmu otak sedang digunakan untuk memperluas peperangan di bidang kesadaran manusia dan menyebabkan otak menjadi target utama serangan dan pertahanan senjata konsep biru.

Dengan daftar hitam tersebut, membuat perusahaan AS tak dapat mengekspor atau mentransfer barang kepada mereka tanpa izin kepada Akademi Ilmu Pengetahuan dan afiliasinya.

Hal itu muncul di tengah peringatan dari departemen pemerintah lainnya kepada Perusahaan AS bahwa China sedang mencoba memperoleh teknologi Amerika di sector-sektor utama, termasuk biotek.

Seorang pejabat mengungkapkan teknologi yang China coba kembangkan termasuk pengeditan gen, peningkatan kinerja manusia dan antarmuka mesin otak.

Menteri Perdagangan AS, Gina Raimondo mengatakan ada kekhawatiran bahwa China akan menggunakan senjata semacam itu untuk mempertahankan kedali atas warganya sendiri, termasuk etnis minoritas Muslim Uighur.

Baca Juga: China Ajak Rusia Kerja Sama, Lawan AS dan Hagemoni Asing

“Sayangnya, Republik Rakyat China memilih untuk menggunakan teknologi ini untuk mengejar control atas rakyatnya, dan penindasannya terhadap anggota kelompok etnis dan agama minoritas,” ujarnya dikutip dari Daily Mail.

“Kami tidak dapat membiarkan komoditas, teknologi dan perangkat lunak AS yang mendukung ilmu kedokteran dan inovasi bioteknik dialihkan ke penggunaan yang bertentangan dengan keamanan nasional AS,” kata Raimondo.

Berada di Beijing, Akademi Ilmu Pengetahuan Medis Militer biasanya digunakan sebagai pengembangan vaksin Covid-19.

Namun, AS semakin khawatir adanya hubungan antara penelitian sipil dan militer di China.




Sumber : Washington Post/Daily Mail


BERITA LAINNYA



Close Ads x