Kompas TV internasional kompas dunia

Pemimpin Sayap Kanan Prancis Usulkan Larangan Berjilbab Demi Peluang Menang di Pilpres 2022

Kompas.tv - 30 Januari 2021, 21:18 WIB
pemimpin-sayap-kanan-prancis-usulkan-larangan-berjilbab-demi-peluang-menang-di-pilpres-2022
Pemimpin Sayap Kanan Prancis, Marine Le Pen. (Sumber: AP Photo/Armando Franc)
Penulis : Haryo Jati

PARIS, KOMPAS.TV - Pemimpin sayap kanan Prancis, Marine Le Pen usulkan larangan berjilbab di semua area publik.

Hal itu dia lakukan demi meningkatkan perolehan suaranya di polling Pemilihan Presiden (Pilpres) Prancis, yang saat ini tengah tinggi.

Kebijakan hijab itu menjadi tema yang akrab untuk dimunculkan wanita 53 tahun tersebut, 15 bulan sebelum Pilpres Prancis 2022.

Baca Juga: Biden Dikritik Keras Karena Setujui Vaksin untuk Hambali dan Tahanan Guantanamo

“Saya menganggap hijab merupakan alat dari Islam dalam berpakaian,” tutur Le Pen, Jumat (29/1/2021) waktu setempat, dikutip dari Al-Jazeera.

Le Pen mengungkapkan dia akan membuat hukum baru untuk melarang ideologi Islam yang disebutnya totalitarian dan pembunuh.

Semenjak menjadi pemimpin Partai Sayap Kanan, Le Pen ikut dalam Pilpres 2017.

Baca Juga: Dipenjara karena Bercinta dengan Ayam, Masa Tahanan Pria Ini Akhirnya Dikurangi

Namun, kala itu dia kalah dari Emmanuel Macron. Tetapi pada raihan poling saat ini, ada peningkatan suara dibandingkan sebelumnya,

Seperti diwartakan Le Parisien, berdasarkan polling yang dilakukan oleh Harris Interactive, jika putaran terakhir Pilpres dilakukan sekarang Le Pen akan memiliki 48 persen suara, sedangkan Macron 52 persen.

“Ini memang polling, sebuah cuplikan sekarang ini. Namun, hal itu menunjukkan bahwa kemungkinan saya untuk menang adalah kredibel, bahkan masuk akal,” katanya.

Baca Juga: Kisah Cinta Koruptor China Lai Xiaomin Dieksekusi Mati: 100 Selingkuhan Dapat 100 Properti Mewah

Menurut Peneliti Politik Prancis, Jean-Yves Camus, mengungkapkan bahwa itu raihan tertinggi yang bisa didapat Le Pen.

Dia mengatakan Le Pen diuntungkan dari rasa frustasi dan kemarahan masyarakat Prancis karena wabah Covid-19.

Selain karena di ambang lockdown untuk ketiga kalinya, juga karena peristiwa pemenggalan guru sekolah Prancis di Paris, Oktober lalu.



Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x