Kompas TV bisnis ekonomi dan bisnis

Stafsus Mendag Tanggapi Tudingan Ekonom soal Pemerintah Biang Keladi Kelangkaan Minyak Goreng

Kompas.tv - 6 Februari 2023, 20:22 WIB
stafsus-mendag-tanggapi-tudingan-ekonom-soal-pemerintah-biang-keladi-kelangkaan-minyak-goreng
Syailendra, staf khusus Menteri Perdagangan, dalam Sapa Indonesia Malam, Senin (6/2/2023) menanggapi tudingan ekonom senior Faisal Basri yang menyebut pemerintah sebagai biang keladi kelangkaan minyak goreng. (Sumber: -)
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana | Editor : Purwanto

JAKARTA, KOMPAS.TV –  Pihak Kementerian Perdagangan melalui Syailendra, staf khusus Menteri Perdagangan, menanggapi tudingan ekonom senior Faisal Basri yang menyebut pemerintah sebagai biang keladi kelangkaan minyak goreng.

Syailendra menjelaskan, jika dihitung apple to apple dengan harga CPO dunia, harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng yang sebesar Rp14 ribu per liter memang jauh di bawah.

“Jadi begini, memang harga atau DPO yang kita tetapkan sebagai HET Rp14 ribu di tingkat masyarakat,” tuturnya dalam dialog Sapa Indonesia Malam, Kompas TV, Senin (6/2/2023).

“Itu memang kalau kita hitung apple to apple dengan harga CPO dunia saat ini tentu memang ini di bawah.”

Tapi, lanjut Syailendra, itu adalah DMO atau domestic market obligation untuk para pelaku usaha yang mengekspor minyak goreng.

“Tapi sekali lagi, ini adalah DMO, Domestic Market Obligation.”

Baca Juga: Ekonom Senior Sebut Pemerintah Biang Keladi Kelangkaan Minyak Goreng, Ini Penjelasannya

“Kewajiban pada teman-teman pelaku usaha yang mengekspor, karena tentu wilayahnya lebih tinggi ketika ekspor, maka dia diminta kontribusinya untuk menyuplai di dalam negeri sesuai dengan kebutuhan,” paparnya.

Para pelaku usaha yang mengekspor, lanjut dia, akan mendapatkan insentif berupa angka pengali.

Angka pengali ini yang kemudian terkompensasi perhitungannya sebagai keuntungan ketika mengeskpor.

“Sebagai contoh, kalau dia distribusikan dalam bentuk curah, maka diberi kompensasi 6 poin, artinya kalau dia distribusi 1 ton, dia bisa ekspor 6 ton.”

Dalam dialog itu, Syailendra juga menjelaskan bahwa saat ini kelangkaan terjadi bukan pada minyak goreng subsidi.

Kelangkaan minyak goreng, menurutnya disebabkan lebih banyak minyak goreng yang terdistribusi dalam bentuk curah.

“Kalau kita melihat, memang pada posisi puncak untuk minyak kemasan ini berada di Bulan November, di mana kontribusi minyak kemasan, sederhana, minyak rakyat ini, dengan merek Minyakita itu, porsinya hampir mencapai 29 sampai 30 persen, sempat mencapai hampir 38 persen.”

Kemudian, pada Desember, Minayakita mulai melandai, tapi minyak curah tetap terpasok dengan baik.

Berdasarkan pantauan Kemendag, kata dia, rata-rata masih di atas 260 ribu ton per bulan, bahkan Desember 2022 hingga Januari 2023 masih di angka 263 ribu ton lebih.

“Artinya, kalau lihat pasokan, memang komposisi berkurang. Minyak curah menjadi lebih banyak. Kalau dilihat bulan Desember, komposisinya Minyakita 38 persen, minyak curahnya 62 persen.”

“Januari, minyak kemasan tinggal 27 persen, dan minyak curah masih 73 persen. Artinya banyak terdistribusi dalam bentuk curah,” tegasnya.

Namun, untk mengatasi kelangkaan, pihaknya sudah melakukan sejumlah upaya, agar minyak kemasan diproduksi lebih banyak.

Minat masyarakat terhadap minyak goreng kemasan Minyakita, kata Syailendra sangat luar biasa, termasuk untuk kalangan menengah yang taadinya menggunakan minyak goreng premium, beralih pada Minyakita.

Baca Juga: UMKM Siasati Minyak Goreng Curah Langkah.

“Kemudian horeka (hotel, restoran, dan kafe), beberapa sudah terpantau membeli juga minyak ini. Ini memang ekspektasi yang terlalu tinggi, kemudian prevelensi massyarakat terhada Minyakita ini sudah sangat bagus.”

Sebelumnya, dalam dialog yang sama, Ekonom senior Faisal Basri menyebut pemerintah sebagai biang keladi atas langkanya minyak goreng di pasaran.

Menurutnya, dari tahun ke tahun pasokan CPO yang terserap oleh industri pangan semakin menurun.

“Kita lihat pasokan CPO ke industri pangan kian hari kian turun,”ucapnya.

”Tahun 2018, industri pangan, di dalamnya ada minyak goreng, 64,5persen disedot oleh industri pangan, termasuk minyak goreng.”

Tapi, pada tahun lalu, industri pangan hanya menyerap 47,4 persen psokan CPO.

Hal itu berbanding terbalik dengan serapan CPO oleh industri biodiesel, yang semakin hari semakin meningkat.

“Jadi CPO ini mengalir deras ke industri biodiesel. Biodiesel tahun 2018 baru menyerap 28,3 persen, tahun lalu 42,2 persen.”

“Ini biang keladinya ya pemerintah menerapkan dua harga untuk CPO. Harga untuk biodiesel itu lebih mahal jauh daripada harga CPO untuk minyak goreng. Jadi biang keladinya siapa? Pemerintah,” tegas dia.



Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x