Kompas TV bisnis ekonomi dan bisnis

Bukan Cuma Startup, Apindo Prediksi PHK Masih akan Terjadi di 3 Industri Ini pada 2023

Kompas.tv - 23 Desember 2022, 06:45 WIB
bukan-cuma-startup-apindo-prediksi-phk-masih-akan-terjadi-di-3-industri-ini-pada-2023
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memprediksi tren Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal masih akan terjadi di 2023. PHK bukan hanya terjadi di startup atau perusahaan teknologi. Tapi juga di industri padat karya yang berorientasi ekspor seperti garmen, alas kaki, dan tekstil. (Sumber: Kompas.tv/Ant)
Penulis : Dina Karina | Editor : Gading Persada

JAKARTA, KOMPAS.TV - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memprediksi tren Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal masih akan terjadi di 2023. 

Menurut Apindo, PHK bukan hanya terjadi di startup atau perusahaan teknologi. Tapi juga di industri padat karya yang berorientasi ekspor seperti garmen, alas kaki, dan tekstil.

Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani mengatakan, permintaan terhadap produk ketiga sektor tersebut menurun karena ekonomi global melemah. Khususnya China, Amerika Serikat, dan Eropa yang selama ini menjadi pangsa pasar utama mereka.

"Kemungkin bahwa PHK itu terus berlanjut dalam arti kata yang terkait dengan komoditas ekspor masih belum bisa kita prediksi apakah ada rebound di kuartal 2 tahun depan. Mudah-mudahan permintaan komoditas ekspor akan bertambah sehingga akan memberikan dampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja," kata Hariyadi Sukamdani seperti dikutip dari Kompas.com.

Ia mengungkapkan, untuk sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) dan alas kaki terjadi penurunan permintaan hingga 30-50 persen untuk pengiriman akhir tahun 2022 sampai kuartal I-2023.

Karena pesanan menurun, mereka mengurangi produksi dan juga mengurangi jam kerja pegawai hingga PHK. Berdasarkan  laporan dari industri garmen, tekstil dan alas kaki telah terjadi PHK atas 87.236 pekerjanya hanya dari 163 perusahaan.

Baca Juga: Kedua Kalinya Tahun Ini, JD.ID PHK 200 Karyawan

"Selain itu BPJS Ketenagakerjaan juga mencatat telah terjadi PHK terhadap 919.071 pekerja yang mencairkan dana JHT (Jaminan Hari Tua) akibat PHK dari Januari-1 November 2022," ujarnya.

Hariyadi menyebut, tren PHK di Indonesia terus meningkat sejak 2019 atau sebelum pandemi. Yakni dari 376.456 pada 2019, kemudian meningkat menjadi 679.678 pada 2020 dan naik lagi jadi 922.756 pada 2021.

Tahun ini, Apindo memprediksi jumlah PHKakan lebih besar dari 2021. Meski pandemi sudah mereda, Perang Rusia-Ukraina telah membuat pelemahan ekonomi dunia.

Di sisi lain, penciptaan lapangan kerja terus berkurang akibat minimnya investasi padat modal dan pemanfaatan teknologi.

Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dalam 7 tahun terakhir daya serap tenaga kerja terus mengalami penurunan. Pada 2013, Rp 1 triliun investasi bisa menyerap sebanyak 4.594 tenaga kerja. Sementara pada 2021, Rp 1 triliun investasi hanya menyerap 1.340 tenaga kerja.

Baca Juga: Ternyata Ini Biang Kerok Badai PHK Startup: Bunga Acuan, Inflasi, dan Perang Rusia-Ukraina

Kemudian, pencari kerja dengan keterampilan rendah lulusan SD hingga SMA akan semakin tersisih dalam memperebutkan pekerjaan dari sektor usaha formal yang memiliki kepastian pendapatan.

Semua hal itu membuat perusahaan akan lebih bersedia mempekerjakan tenaga kerja dengan pendidikan yang lebih tinggi dan bersedia dibayar dengan UMP atau UMK.

"Ini menyebabkan pencari kerja dengan keterampilan rendah lulusan SD-SMP-SMA semakin sulit untuk mendapatkan pekerjaan," ucapnya.


 

Banyaknya pengangguran, lanjut Hariyadi, membuat bantuan sosial untuk masyarakat marjinal semakin membebani anggaran pemerintah yang menghambat pembangunan.

"Semakin merosotnya daya serap tenaga kerja di sektor formal dibandingkan meningkatnya jumlah penduduk berdampak pada menurunnya pendapatan masyarakat sehingga tidak mampu mencukupi kebutuhan gizinya," tuturnya seperti dikutip dari Antara.

Baca Juga: Pajak Karyawan Naik Saat PHK Massal Terjadi, Sri Mulyani: Ini Sangat Kikuk

Menurut dia, untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 2023, Pemerintah dinilai perlu konsisten dalam menjalankan sejumlah agenda reformasi ekonomi struktural sebagaimana tercermin dalam substansi UU Cipta Kerja.

"Berbagai masalah inkonsistensi kebijakan mutlak perlu ditindaklanjuti dengan cepat. Kebijakan populis yang menghancurkan reformasi struktural jangka menengah-panjang harus dikoreksi," ujar Haryadi.

Selain itu, dukungan kelembagaan harus dijalankan secara efektif dan efisien untuk menjaga momentum pemulihan di tengah ancaman resesi global.



Sumber : Kompas.com, Antara


BERITA LAINNYA



Close Ads x