Kompas TV bisnis ekonomi dan bisnis

RI Masuk Daftar Negara Terancam Resesi Bareng Sri Lanka, Sri Mulyani Bilang Begini

Kompas.tv - 14 Juli 2022, 09:11 WIB
ri-masuk-daftar-negara-terancam-resesi-bareng-sri-lanka-sri-mulyani-bilang-begini
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers virtual terkait ancaman resesi Indonesia dan dunia, Badung (13/7/2022). (Sumber: Kompas.tv/Ant)
Penulis : Dina Karina | Editor : Desy Afrianti

JAKARTA, KOMPAS.TV - Bloomberg merilis 15 negara yang berpotensi masuk jurang resesi. Survei tersebut menunjukkan pada peringkat 1-15 secara berurutan, yaitu Sri Lanka, New Zealand, Korea Selatan, Jepang, China, Hongkong, Australia, Taiwan, Pakistan, Malaysia, Vietnam, Thailand, Filipina, Indonesia, lalu India.

Bloomberg menyebut Sri Lanka menempati posisi pertama negara berpotensi resesi dengan presentase 85 persen, New Zealand 33 persen, Korea Selatan dan Jepang 25 persen.

Lalu China, Hongkong, Australia, Taiwan, dan Pakistan 20 persen. Malaysia 13 persen, Vietnam dan Thailand 10 persen, Filipina 8 persen, Indonesia 3 persen, dan India 0 persen.


 

Menanggapi hasil survei tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, survei itu menunjukkan indikator ekonomi Indonesia masih jauh lebih baik dari negara-negara lain.

Baca Juga: Ancaman Resesi AS Semakin Nyata, Harga Minyak Turun Lagi

"Itu menggambarkan bahwa dari indikator neraca pembayaran kita, APBN kita, ketahanan dari GDP kita, dan juga dari sisi korporasi maupun dari rumah tangga serta monetery policy kita relatif dalam situasi yang tadi disebutkan risikonya 3 persen dibandingkan negara lain yang potensi untuk bisa mengalami resesi jauh di atas yaitu di atas 70 persen," kata Sri Mulyani dalam konferensi virtual di Bali, dikutip Kamis (14/7/2022).

Namun, Indonesia tidak boleh terlena dengan kondisi perekonomian yang baik. Sri Mulyani menyatakan pemerintah akan tetap waspada dengan potensi resesi. Lantaran, kenaikan inflasi masih menjadi ancaman bagi Indonesia dan negara lainnya.

Termasuk negara maju yang selama ini biasanya mengalami deflasi. Dalam daftar yang dirilis Bloomberg, ada New Zealand, Korea Selatan, Jepang, China, Hongkong, Australia yang merupakan negara maju dengan tingkat inflasi nyang biasanya rendah, bahkan cenderung deflasi.

"Kita tetap harus waspada karena ini akan berlangsung sampai tahun depan. Risiko global mengenai inflasi dan resesi, atau stagflasi sangat rill dan akan menjadi salah satu topik pembahasan kita," ujar Sri Mulyani.

Baca Juga: Sri Mulyani Ajak Masyarakat Waspadai Gejolak Inflasi Global yang Bisa Persulit Masyarakat Beli Rumah

"Namun message-nya adalah kita tetap akan menggunakan semua instrumen kebijakan kita," ucapnya.

Ia menyampaikan, sektor keuangan di Indonesia kini lebih berhati-hati, setelah belajar dari krisis keuangan 2008. Salah satunya dengan menjaga rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL).

Pemerintah juga sudah mengurangi porsi utang berbentuk pinjaman luar negeri.

"Artinya belajar dari krisis global global sektor korporasi financial APBN moneter semuanya mencoba memperkuat diri sendiri pada saat hadapi risiko, sekarang ini kita dalam situasi daya tahan masih lebih baik makanya kita disebutkan ratingnya lebih kecil," ujarnya.

Ia pun menjamin Indonesia tidak akan bernasib seperti Sri Lanka yang sudah menjadi negara bangkrut. Pasalnya, indikator ekonomi Indonesia menunjukkan kondisi yang baik. Seperti neraca perdagangan dan cadangan devisa.

Baca Juga: Gagal Bayar Utang Luar Negeri Ratusan Triliun, Sri Lanka Dinyatakan Bangkrut!

"Beberapa negara kalau kondisi awalnya tidak kuat, apalagi sesudah dua tahun dihadapkan pada pandemi, ketidakuatan itu dilihat dari berbagai faktor. Pertama, neraca pembayarannya, yaitu apakah trade account, capital account, dan cadangan devisa negara tersebut memadai dampaknya kepada nilai tukar," kata Sri Mulyani.

Ditambah, Indonesia juga berada dalam kondisi pemulihan yang baik setelah pandemi. Tapi, tidak begitu halnya dengan Sri Lanka yang belum pulih dari pandemi, sudah kembali terhantam krisis energi dan pangan.

"Jadi kalau mereka mengalami kontraksi akibat pandemi dan belum pulih, ditambah dengan kemudian inflasi yang sekarang terjadi, ini akan makin menimbulkan kompleksitas suatu negara," ucap mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu. 



Sumber :


BERITA LAINNYA



Close Ads x