Kompas TV bisnis ekonomi dan bisnis

Petani Cemaskan Ketentuan Impor Pangan yang Dihapus dalam UU Cipta Kerja

Kompas.tv - 10 Februari 2022, 01:06 WIB
petani-cemaskan-ketentuan-impor-pangan-yang-dihapus-dalam-uu-cipta-kerja
Foto ilustrasi petani menanam padi di sawah (Sumber: Shutterstock)
Penulis : Fransisca Natalia | Editor : Deni Muliya

JAKARTA, KOMPAS.TV – Penghapusan syarat kecukupan produksi dalam negeri untuk mengimpor pangan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja membuat kalangan petani khawatir terhadap dampaknya.

Misalnya, pada Pasal 36 UU No 18/2012 tentang Pangan, mensyaratkan impor pangan hanya dapat dilakukan jika produksi tak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri.

Namun, syarat itu tak diatur lagi di UU Cipta Kerja.

Dari sebab itu, pangan impor kemudian berpotensi menggusur hasil panen dan menekan kesejahteraan petani.

Selain itu, ketentuan Pasal 15 UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani juga diubah di UU Cipta Kerja.

Pada UU 19/2013 itu, pemerintah diwajibkan mengutamakan produksi pertanian dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional.  

Namun, di UU Cipta Kerja, pasal itu diubah menjadi "Pemerintah pusat dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya wajib meningkatkan produksi pertanian.

Ketua Umum Serikat Petani Indonesia, Henry Saragih berpendapat, sebelum ada UU Cipta Kerja, amanat sejumlah UU terkait dengan pangan dan pertanian belum dijalankan dengan baik.

Selain UU Pangan, ada UU No 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU No 13/2010 tentang Hortikultura, UU No 39/2014 tentang Perkebunan, dan UU No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

”Kini, dengan statusnya yang inkonstitusional bersyarat, (UU Cipta Kerja) tak bisa dijadikan rujukan dalam pengambilan kebijakan, misalnya, saat mau impor, tentu harus merujuk UU Pangan,” ujarnya, dilansir dari Kompas.id pada Rabu (9/2/2022).

Baca Juga: Komnas HAM di Depan Jokowi: Prinsip HAM Minta Dipertimbangkan dalam Perbaikan UU Cipta Kerja

Diketahui, pada November 2021, Mahkamah Konstitusi memutus UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.

Pembentuk UU diperintahkan untuk memperbaikinya dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan.

Apabila dalam tenggang waktu itu tidak diperbaiki, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen.

Terkait hal itu, Presiden Wahana Masyarakat Tani Nelayan Indonesia (Wamti) Agusdin Pulungan menilai, kendati telah diputuskan bermasalah dari sisi hukum, implementasi kegiatan masih berjalan.

Dampak yang dikhawatirkan adalah terkait perjanjian kemitraan dagang yang berpotensi merugikan petani di dalam negeri.

Perjanjian tersebut, lanjutnya, salah satu tujuannya adalah agar negara-negara yang bermitra saling membuka keran impor dengan mengurangi sebanyak-banyaknya hambatan impor.

Menurut Agusdin, ancaman UU Cipta Kerja di sektor pertanian nyata.

Karena pada kenyataannya, daya saing petani di Indonesia terbilang kurang.

Produk dari negara-negara lain yang lebih baik dalam menyubsidi pertaniannya bakal menggusur hasil panen petani dalam negeri.

Sebelum itu, Kepala Biro Hukum Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian, Eddy Purnomo mengatakan, terkait dengan impor pangan sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko beserta turunannya.

”Substansinya tidak berubah dengan kondisi sebelum diberlakukan UU Cipta Kerja,” ujarnya, Selasa (8/2/2022).

Mengenai revisi substansi dalam UU Cipta Kerja di sektor pertanian, Eddy menilai, memang perlu evaluasi menyeluruh.

Namun, ia belum tahu apakah perbaikan tetap di Kemenko Bidang Perekonomian, sebagai leading sector atau tidak.

Baca Juga: Tak Ingin Melulu Tanam Beras Putih, Petani Kedurus Subur Akhirnya Panen Beras Merah




Sumber : Kompas TV/Kompas.id


BERITA LAINNYA



Close Ads x