Kompas TV bisnis ekonomi dan bisnis

Penelitian: Bansos Dihentikan, Penduduk Miskin Bertambah 29 Juta Orang di 2022

Kompas.tv - 9 Desember 2021, 09:57 WIB
penelitian-bansos-dihentikan-penduduk-miskin-bertambah-29-juta-orang-di-2022
Warga menerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) Rp300.00 yang diberikan sekaligus 2 bulan. BLT adalah salah satu program perlindungan sosial yang dihentikan pemerintah sehingga berpotensi menambah jumlah rakyat miskin di 2022. (Sumber: Kompas.tv/Ant)
Penulis : Dina Karina | Editor : Purwanto

JAKARTA, KOMPAS.TV- Angka kemiskinan di Indonesia diprediksi akan bertambah sebanyak 29,3 juta penduduk. Penyebab utamanya adalah semakin banyak penduduk yang tidak mendapat bantuan ekonomi dari pemerintah. Padahal dampak pandemi masih sangat terasa.

Hal itu berdasarkan hasil penelitian lembaga riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS).

“Ketika beban krisis membuncah dan pandemi belum menunjukkan tanda-tanda berakhir, alokasi anggaran perlindungan sosial justru semakin menurun,” kata Peneliti IDEAS bidang Ekonomi Makro Askar Muhammad lewat siaran persnya, Kamis (9/12/2021).

Pemerintah memang mulai memangkas anggaran bansos dengan menghentikan sejumlah program. Seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp300.000 per bulan dan Bantuan Subsidi Upah (BSU) sebesar Rp500.000 per bulan.

Baca Juga: Ingat! Layanan Setor/Tarik Tunai di Bank Hanya Sampai 27 Desember

Penurunan itu juga terlihat dari anggaran pemulihan ekonomi nasional atau PEN perlindungan sosial, dalam APBN 2020 hingga RAPBN 2022.

Dalam APBN 2020, dana PEN perlindungan sosial mencapai Rp216,6 triliun, kemudian di APBN 2021 alokasinya turun menjadi Rp184,5 triliun. Terkini, lalu pada RAPBN 2022 hanya direncanakan Rp153,7 triliun.

“Anggaran perlindungan sosial berperan penting dalam menopang keluarga miskin yang terdampak keras oleh pandemi,” ujar Askar.

Di sisi lain, pemerintah berupaya untuk memulihkan perekonomian dengan membuka hampir seluruh aktivitas sosial ekonomi, termasuk sekolah dan ajang olahraga. Pemerintah bahkan membatalkan penerapan PPKM level 3 selama periode Natal dan Tahun Baru. Sehingga masyarakat bisa bebas berwisata dan liburan.

Baca Juga: Disebut BPK Belum Bayar Pajak Hampir Rp2 T, Ini Kata Pertamina

Namun, pemulihan ekonomi yang diperkirakan berlanjut tahun depan, tidak dirasain semua sektor dan lapisan masyarakat.

“Pemulihan pasca pandemi akan ideal ketika semua sektor tumbuh dengan kecepatan yang sama, sehingga manfaat pertumbuhan akan dirasakan secara merata,” ucap Askar.

Ia menambahkan, selama 2014-2020 pertumbuhan pengeluaran per kapita antar kelas ekonomi terlihat merata, menandakan manfaat pertumbuhan yang dinikmati semua.

“Namun, pola tersebut berubah drastis pada masa pandemi, Maret-September 2020, di mana beban kejatuhan ekonomi tidak ditanggung merata, lebih banyak ditanggung oleh kelas menengah,” jelasnya.

Baca Juga: Ini 6 BUMN Dengan Utang Gede, Ada yang Lebih Dari Rp600 T!

“Pemulihan ekonomi pasca pandemi secara ironis memiliki tendensi menciptakan kesenjangan yang semakin lebar yaitu si kaya semakin kaya, si miskin semakin miskin,” sambungnya.

Hal itu bisa terjadi, karena pemulihan didominasi sektor tertentu yang hanya menguntungkan kelas atas. Askar menyebut pola pemulihan seperti itu dikenal dengan istilah K-shape.

“Dengan K-shape recovery, kami memproyeksikan pertumbuhan pengeluaran per kapita ke depan akan lebih didominasi kelas menengah-atas, sedangkan kelas menengah-bawah hanya akan tumbuh moderat-rendah,” tutur Askar.

Askar menambahkan, implikasi dari semua itu adalah penanggulangan kemiskinan pasca pandemi akan berjalan lebih lambat. Menurutnya, pemulihan K-shape berpotensi melemahkan pertumbuhan ekonomi di masa depan seiring meningkatnya kesenjangan.

Baca Juga: Sri Mulyani Sebut Uang Dinas PNS Daerah Lebih Gede dari Pusat

Secara umum, kelas atas memiliki rasio tabungan terhadap pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan kelas bawah. “Ketika pendapatan kelas atas meningkat, rasio tabungan mereka ikut melonjak. Seiring kenaikan pendapatan, rasio konsumsi kelas atas justru menurun. Di sisi lain, kelas menengah-bawah semakin tergerus rasio tabungannya untuk bertahan hidup,” tuturnya.

Sejak pandemi, terlihat pola yang konsisten, rasio tabungan kelas atas meningkat tajam dan rasio tabungan kelas bawah semakin terpuruk. Pangsa simpanan masyarakat di perbankan dengan tier nominal lebih dari Rp 5 miliar meningkat dari 46,2 persen pada Desember 2019 menjadi 50,7 persen pada September 2021.

Pada saat yang sama, pangsa simpanan dengan tier nominal kurang dari Rp 100 juta menurun dari 14,5 persen menjadi 13,0 persen.

“Secara keseluruhan, kecenderungan menabung yang semakin tinggi oleh si kaya ini akan membuat konsumsi agregat menurun sehingga melemahkan pertumbuhan dan pemulihan ekonomi (paradox of thrift),” pungkas dia.




Sumber :


BERITA LAINNYA



Close Ads x