Kompas TV bbc bbc indonesia

Normalisasi Ibadah di Masjid selama Ramadan Dibayangi Penularan Covid-19

Kompas.tv - 16 April 2022, 13:36 WIB
normalisasi-ibadah-di-masjid-selama-ramadan-dibayangi-penularan-covid-19
Ilustrasi: Suasana buka puasa di sebuah masjid di Denpasar, Bali, 12 April 2022. (Sumber: Johannes P. Christo/Getty)
Penulis : Vyara Lestari

Ramadan dua tahun lalu, sebagian besar masjid di Indonesia ditutup demi menghindari penularan Covid-19. Namun Ramadan tahun ini, segalanya berubah 'normal'. BBC News Indonesia mendatangi kembali tiga masjid yang dua tahun lalu ditutup.

Belasan orang duduk bersila, berdempetan, sebagian besar tidak bermasker, dan beberapa terlihat takzim menyimak seseorang melafalkan ayat-ayat al-Quran.

Lokasinya di teras depan Masjid Said Naum, di Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta Pusat — hanya sekitar 20 menit berjalan kaki dari Bundaran HI, awal April 2022.

Sore itu, dinaungi langit yang perlahan-lahan berubah menjadi lembayung, dan dibingkai gedung-gedung pencakar langit di kejauhan, orang-orang itu menunggu waktu buka puasa.

Di hadapan mereka, ada penganan ringan yang dibungkus plastik dan segelas air putih — takjil, begitu sebutannya. Terdengar pula celotehan anak-anak yang seperti menemukan kegembiraan saat Ramadan tiba.

Sajian itu disiapkan oleh panitia yang khusus dibentuk oleh pengurus masjid untuk menyambut Ramadan.

Dan seiring jarum jam mendekati pukul enam sore, jumlah orang-orang yang hendak berbuka — dan salat maghrib, tentu saja — makin bertambah.

Kisah perantau asal Padang, Sumbar

Salah-seorang di antara mereka adalah pria bernama Aurilio Saputra. Usianya sekitar 30 tahunan.

Rio — sapaannya — berasal dari Kota Padang, Sumatera Barat, dan sudah lima tahun merantau di ibu kota.

Dia bekerja di sebuah perusahaan grosir kerudung di Pasar Tanah Abang.

Sebelum pandemi Covid, Rio rajin beribadah di masjid ini selama Ramadan. Saat itu dia mengontrak ruangan di rumah susun Kebon Kacang di sebelah masjid itu.

Tetapi semuanya berubah saat virus itu merajalela sekitar dua tahun silam. Perusahaan tempatnya bekerja pun terdampak dan masjid-masjid ditutup — di antaranya Masjid Said Naum.

Dia pun dipaksa mencari rumah kontrakan yang relatif jauh dari Masjid Said Naum, dan berusaha memahami larangan pemerintah untuk beribadah ke masjid.

Namun petang itu, Rio tak kuasa menutupi rasa girangnya. Dia bercerita omset penjualan kerudung milik bosnya mulai naik perlahan.

Lebih dari itu Rio mengaku mulai merasakan atmosfir Ramadan tanpa dibayangi-bayangi hantu Covid. Contohnya, ya, dia bisa ikut berbuka bersama di masjid itu.

Sebagai anak rantau, kerinduannya kepada keluarga dan suasana Ramadan di kampung jalanan, seperti terbalaskan, dengan beraktivitas di masjid.

"Kalau di kos, rasanya sepi banget. Enggak ada keluarga di sini," katanya. "Kalau di sini, terasa ramainya. Dapat ibadah salatnya, juga dapat rindu rumahnya."

Apa yang ditampakkan Rio, agaknya, menggambarkan secara umum respon umat Islam ketika larangan beribadah di masjid dicabut seiring menurunnya kasus Covid-19.

Baca juga:

Seperti apa perbedaan dua tahun lalu dan sekarang?

Inilah yang melatari keingintahuan saya untuk mengetahui secara langsung seperti apa suasana buka puasa bersama dan salat maghrib berjamaah di Masjid Said Naum, sore itu.

Dua tahun lalu pada akhir April, saat Ramadan, saya mendatangi masjid ini. Ketika itu kawasan Tanah Abang masuk Zona Merah, dan semua masjid harus ditutup untuk mencegah penularan Covid.

Pintu gerbang masjid ditutup dan ada pengumuman pelarangan beribadah ke masjid itu. Satpam yang berjaga juga harus bertanya apa maksud kedatangan saya.

Saat mewawancarai sekretaris masjid, Suparmo, saya saat itu harus menggunakan masker. Mikropon pada alat perekam pun saya bungkus dengan plastik. Pimpinan kantor tempat saya bekerja juga mewanti-wanti supaya saya menaati protokol kesehatan.

Saya teringat Suparmo berujar bahwa semua agenda Ramadan yang sudah disiapkan dibatalkan semua. Ada nada sendu dalam ucapannya.

'Dulu kita saling curiga' - Kisah dari Masjid Said Naum

Pekan lalu, saya tidak bertemu Suparmo. Saya diminta mewawancarai Irwan, kelahiran 1983, ketua panitia Ramadan. Pertama-tama dia menjelaskan situasi saat masjid ditutup saat itu.

"Itu pasti [ada perasaan was-was]. Kita semua khawatir," ungkap Irwan.

"Kita saling curiga," jelasnya lebih lanjut. Dia kemudian teringat ketika ada salah seorang pimpinan masjid yang terpapar, dia dan rekan-rekannya sempat menghindarinya.

"Saking takutnya," Irwan kali ini mengutarakannya seraya terkekeh. Jarak waktu dan situasi saat ini yang mendekati normal, agaknya, membuatnya leluasa menertawakan diri sendiri.

Kini, situasinya jauh berbeda. "Sekarang hampir 80% sudah kayak sebelum pandemi," katanya. Selain buka bersama, masjid ini sudah menggelar tarawih.

"Sudah mendekati normal," tambahnya. Jamaahnya tidak lagi mengenakan masker dan tidak ada lagi jarak saat salat maghrib.

'Kita serahkan kepada Allah...'

Apakah Anda tidak khawatir ada penularan? "Enggak juga, Insya Allah. Kita serahkan kepada Allah," jawabnya.

"Tapi ikhtiar tetap ada. Terapkan cuci tangan, pakai masker. Cuma saat ini sudah berkurang [yang mengenakan masker]," Irwan kembali terkekeh.

Jika dua tahun lalu, pihak masjid mengharuskan penggunaan masker, kini tanggung jawab itu ada pada masing-masing, katanya.

Situasi serba longgar, seperti yang tergambar saat buka puasa dan salat magrib di Masjid Said Naum, juga terlihat di dua masjid lainnya di kawasan Tanah Abang.

Salah-satunya adalah masjid kuno, al-Makmur, yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari Pasar Tanah Abang.

Ketika jarum jam menunjuk sekitar pukul empat sore, saya melihat puluhan orang beristirahat — berselonjor — di ruangan dalam masjid yang berkarpet itu.

'Sekarang situasinya sudah normal'






Sumber : BBC


BERITA LAINNYA



Close Ads x