Kompas TV bisnis ekonomi dan bisnis

Lion Air Minta Kemenhub Naikkan Tarif Batas Atas Tiket Pesawat agar Bisa Untung

Kompas.tv - 29 Juni 2022, 16:59 WIB
lion-air-minta-kemenhub-naikkan-tarif-batas-atas-tiket-pesawat-agar-bisa-untung
Teknisi dan tim pelaksana perawatan dan sterilisasi armada Lion Air Group. (Sumber: Istimewa/Lion Air Group)
Penulis : Dina Karina | Editor : Vyara Lestari

JAKARTA, KOMPAS.TV - Maskapai Lion Air meminta kenaikan tarif batas atas (TBA) tiket pesawat kepada Kementerian Perhubungan.

President Director of Lion Air Group Daniel Putut Kuncoro Adi mengatakan, pihaknya sulit mendapat keuntungan dengan batas atas tiket yang saat ini diterapkan.

Hal itu ia sampaikan saat rapat dengar pendapat dengan Komisi V DPR, Selasa (28/6/2022), yang juga disiarkan secara virtual.

"Kami coba untuk patuh kepada regulasi, bahkan rute-rute yang memang di-TBA-nya kami tidak bisa untung 100 persen. Kalau ini kami dipaksakan untuk bisa mengikuti TBA, otomatis kami mungkin sama dengan yang lainnya, tidak sanggup untuk menjalankan rute tersebut," kata Daniel, dikutip Rabu (29/6).

Ia menyampaikan, harga avtur yang merupakan bahan bakar pesawat saat ini sedang mahal, seiring melonjaknya harga minyak mentah dunia.

Sumbangan avtur dalam komposisi biaya penyusun tiket pesawat juga cukup besar.

Baca Juga: Ini Penyebab Harga Tiket Pesawat Rute Luar Negeri Mahal, Jakarta-Singapore Sempat Sentuh Rp15 juta!

Sehingga, meski pesawat terisi penuh, belum tentu maskapai bisa mendapat untung. Hal itulah yang membuat Lion Air meminta Kemenhub menaikkan TBA tiket pesawat, terutama di rute-rute tertentu agar maskapai bisa mendapatkan keuntungan. 

Sebelumnya, Kemenhub memang sudah mengizinkan penerapan fuel surcharge atau biaya tambahan bahan bakar pada tiket pesawat, sehingga harga tiket bisa jadi lebih mahal.

Lion Air juga meminta Kemenhub untuk memasukkan biaya perawatan dan sparepart atau suku cadang pesawat sebagai unsur tambahan penentu tarif tiket pesawat dan merevisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 20 Tahun 2019.

"PerMen 20 tahun 2019 dikeluarkan saat sebelum pandemi di 2020, sehingga banyak sekali revisi atau paling tidak direview yang harus dilakukan. Sehingga paling tidak cost operasional pesawat itu bisa kita readjust (disesuaikan kembali, red)," ujar Daniel.

"Karena memang alat utama bisnis penerbangan adalah pesawat, sehingga komponen-komponen ini yang memang harus kita sama-sama pertimbangkan, khususnya dengan stakeholder," tambahnya.

Baca Juga: Daging Ayam dan Tiket Pesawat Sumbang Inflasi Mei, Harga Minyak Goreng Malah Turun

Menurut Daniel, pada akhirnya maskapai akan mengambil keputusan yang masuk akal dari segi bisnis. Yaitu dengan mengurangi rute-rute yang tidak menguntungkan perusahaan, jika hal-hal tersebut tidak diubah oleh pemerintah.

"Jika ini tidak terpenuhi, maka kita tidak bisa menjalankan rute tersebut. Bali-Lombok juga sangat rawan karena memang dari sisi flight time-nya sudah berubah," tutur Daniel.

"Ini kalau tidak bisa di-review kembali, maka kita bahkan bukan kita saja, tetapi operator penerbangan lainnya juga tidak mau atau tidak sanggup untuk menjalankan," sambungnya.

Suku cadang pesawat kebanyakan adalah barang impor yang dibeli dengan dollar AS. Namun maskapai mendapat pendapatan dalam bentuk rupiah. Sedangkan nilai rupiah saat ini berada dalam tren kelemahan terhadap dollar AS. 

Nilai tukar dollar terhadap rupiah pada Rabu (29/6) sebesar Rp14.851. Hal itu tentunya menjadi beban bagi maskapai. 


 



Sumber :


BERITA LAINNYA



Close Ads x