JAKARTA, KOMPAS.TV – Muhammad Rayhan, seorang siswa kelas 5 SD Negeri Kelurahan Baru, Jakarta Timur, berpikir ia masih bisa sekolah dan berjumpa teman-temannya seperti biasa setelah hampir dua tahun pandemi hanya belajar lewat daring. Tapi kegembiraan mendadak sirna kala pihak sekolah mengumumkan pembelajaran kembali dilakukan jarak jauh karena ditemukan kasus Covid-19.
“Pas mulai masuk sekolah, ada teman yang kena corona, sekolah Rayhan libur lagi,” kata Rayhan kepada KOMPAS TV, Senin (28/2/2022).
Kejadian itu terjadi pada 1 Februari 2022, Rayhan pun harus dites antigen oleh pihak sekolah, hasilnya negatif. Tapi kegiatan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di sekolahnya dihentikan sementara, diganti dengan daring lagi.
Bagi Rayhan, ditutupnya sekolah bikin sedih. Tapi tidak bagi orang tuanya yang merasa kejadian ini seperti alarm yang bikin gelisah.
“Bosen (anaknya) sekolah online mulu. Kalau tidak sekolah, nanti bagaimana pendidikannya? Tapi sekolah langsung, kok ya takut, corona. Bismillah sajalah,” kata Nurhana (50 tahun) ibu dari Rayhan.
Dua tahun pandemi Covid-19 di Indonesia membuat orangtua dilema. Di satu sisi, para orang tua memang ketakutan jika sewaktu-waktu virus ini menjangkiti anak-anak mereka, tapi di sisi lain khawatir anak-anak mereka mengalami kemunduran dalam proses belajar.
Lantas, apakah siswa harus tetap belajar secara daring atau kembali ke sekolah?
Praktisi Pendidikan dari Yayasan Cahaya Guru Muhammad Mukhlisin menilai pembelajaran pertemuan tatap muka (PTM) harus dievaluasi, apalagi ada hal yang membuat selama dua tahun pandemi jadi kendala dalam dunia pendidikan.
Kendala itu terkait data dan transparansi dari pemerintah soal sekolah-sekolah yang terimbas Covid-19. Faktanya, kata Mukhlisin, data itu sulit didapatkan atau tidak diupdate secara berkala.
“PTM memang membawa angin segar, terutama para siswa yang sudah lama tidak beraktivitas di sekolah. Rasa kangen bisa terobati. Tapi, pemerintah perlu evaluasi kebijakan ini berbagai daerah. Perlu data akurat dan transparan, sayangnya itu sulit ditemui,” kata Mukhlisin, Kamis (24/2/2022).
Mukhlisin lantas menunjukkan data survei internal dari situs resmi Kemendikbudristek, per Kamis, 23 September 2021, tercatat ada 1.303 sekolah menjadi klaster Covid-19 atau 2,77 persen dari 47.005 sekolah yang mengisi survei.
Dari angka tersebut, tercatat ada 7.287 guru dan 15.456 siswa terpapar virus corona. Dalam amatan KOMPAS TV, data dari kemendikbud tersebut belum diupdate secara berkala dan rinci terkait jumlah data sekolah, guru dan pelajar yang terimbas Covid-19.
Epidemiolog dari Univeristas Gadjah Mada (UGM) Bayu Satria mengatakan sekolah harus memperketat protokol kesehatan jika PTM terus dilakukan.
“PTM di sekolah sebenarnya bisa jadi ruang aman, asalkan (protokol kesehatan) dilakukan dengan aman. Jika tidak dilakukan dengan baik, dapat jadi tempat penularan Covid-19,” ujarnya.
Ia pun menyebut, PTM bisa terus dilakukan sebagai kebijkan asalkan penularan Covid-19 secara nasional juga melandai.
“Tetap melakukan protokol kesehatan, terutama jika sakit, tidak boleh ke sekolah,” ujarnya.
Baca Juga: Luhut Jelaskan Indonesia akan Transisi Bertahap dari Pandemi Covid 19 ke Endemi
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.