Kompas TV nasional kesehatan

Terjerat dalam Toxic Relationship? Psikolog Universitas Brawijaya Beri Solusi

Kompas.tv - 16 Juli 2021, 09:03 WIB
terjerat-dalam-toxic-relationship-psikolog-universitas-brawijaya-beri-solusi
Ilustrasi hubungan. (Sumber: Tribunnews.com)
Penulis : Danang Suryo | Editor : Iman Firdaus

MALANG, KOMPAS.TV - Istilah toxic menjadi kata baru yang kerap didengar kala berada dalam suatu obrolan atau ketika membuka media sosial.

Kata toxic atau toksik dalam bahasa Indonesia merupakan sesuatu yang merusak atau dapat menimbulkan reaksi tertentu.

Toxic kerap disandingkan dengan permasalahan hubungan yang disebut sebagai toxic relationship.

Relasi atau hubungan yang dimaksud dalam istilah tersebut dapat rusak pada level tertentu yang dipengaruhi frekuensi dan intensitas.

Baca Juga: 6 Tindakan Agar Terbebas dari Toxic Relationship

Istilah ini juga dapat dikaitkan dengan subjek yang memiliki perilaku untuk merusak seperti toxic person, toxic parent/family (keluarga), toxic lover (pasangan) hingga toxic people (orang-orang).

Ari Pratiwi, Psikolog Universitas Brawijaya menjelaskan seseorang dapat dikategorikan sebagai toxic people jika semua orang memberinya validasi orang itu memanglah bersifat toksik.

Julukan ini juga dapat muncul sebagai respon anggapan dari diri sendiri untuk melabeli orang sebagai toksik.

"Kita perlu crosscheck kalau merasa semua orang toxic, bisa jadi kitalah toxic people yang sesungguhnya. Toxic people mungkin sebenarnya respon dari apa yang kita lakukan,” ujar Ari dikutip dari Kompas.com, Jumat (16/07/2021).

Baca Juga: Penelitian Psikologi: Cara Meningkatkan Resiliensi, Kemampuan untuk Bangkit dari Kesulitan

Ada beberapa cara yang dapat diambil untuk menghadapi situasi toxic. Dia mengingatkan bahwa selalu ada resiko untuk tiap cara tersebut.

Pertama yakni dengan menerima apa adanya atau take it, dan menghadapi kondisi yang tengah dialami.

Kedua dengan meninggalkan orang yang memiliki sifat toxic atau leave it. Ari mengungkapkan cara ini merupakan keputusan yang sulit karena membuat penderita harus keluar dari zona nyamannya.

Ketiga mengubah perspektif atau change it, terhadap pendapat dan perilaku dalam diri kita.

"Tidak ada cara yang mudah. Baik take it, leave it, maupun change it, selalu ada risiko yang harus diambil. Namun harus terus dicoba. Kalau tidak dicoba kita akan terus menerus berada dalam situasi toxic," lanjutnya.

Ari mengamati mudahnya pelabelan toxic kepada orang lain tanpa memperhatikan dirinya sendiri terlebih dulu. Hal tersebut membuat orang selalu terjebak dalam hubungan toksik atau toxic relationship.

"Gunakan istilah toxic dengan bijak. Hati-hati dalam melabel, lihat dulu kasusnya, apa benar ia toxic atau tidak," ujar Ari.



Sumber : Kompas.com


BERITA LAINNYA



Close Ads x