> >

Maarif Institute Tuding Wali Kota Cilegon Langgar UUD karena Ikut Tolak Pendirian Gereja

Agama | 10 September 2022, 08:33 WIB
Maarif Institute menuding Wali Kota Helldy Agustian dan Wakil Wali Kota Cilegon Sanuji Pentamarta melanggar Pasal 29 ayat 2 Undang-undang Dasar (UUD) RI. (Sumber: Tangkapan layar Kompas TV)

"Hal tersebut (penandatangan penolakan) adalah memenuhi keinginan masyarakat Kota Cilegon yang terdiri dari para ulama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, dan organisasi masyarakat," tegas Helldy seperti dikutip Kompas.com.

Pada Rabu (7/9), sejumlah orang yang menamakan diri Komite Penyelamat Kearifan Lokal Kota Cilegon melakukan aksi dengan mendatangi DPRD Cilegon dan bertemu Wali Kota Cilegon Helldy Agustian.

Mereka menolak pembangunan Gereja HKBP Maranatha di Lingkungan Cikuasa, Kelurahan Geram, Kecamatan Grogol, Kota Cilegon, Banten.

Helldy menegaskan, Pemerintah Kota Cilegon belum pernah menerima permohonan pendirian rumah ibadah.

Dikatakan Helldy, panitia pembangunan gereja hanya menyampaikan informasi bahwa proses persyaratan perizinan pembangunan rumah ibadah belum terpenuhi pada Selasa (6/9/2022). Yakni persyaratan berdasarkan peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006.

"Persyaratan-persyaratan yang belum terpenuhi dalam pengajuan perizinan pembangunan rumah ibadah, di antaranya validasi dukungan masyarakat sekitar dari kelurahan," kata Helldy.

Tanggapan Kemenag

Pada Kamis (8/9/2022), Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama (Kemenag) Wawan Djunaedi menyampaikan bahwa kepala daerah harus merujuk pada Peraturan Bersama Menteri (PBM) antara Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006.

PBM tersebut mengatur bahwa pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung.

Ia berharap semua kepala daerah, termasuk Wali Kota Cilegon Helldy Agustian, berupaya semaksimal mungkin memenuhi hak-hak konstitusi setiap penduduk, termasuk Hak Beragama dan Berkeyakinan.

Disampaikan, untuk pendirian rumah ibadah, ada persyaratan khusus yang harus dipenuhi, di antaranya daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat.

Kedua, dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa.

Ketiga, rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota.

Keempat, rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.

Jika persyaratan pertama terpenuhi, sedangkan persyaratan kedua belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadah.

“Jadi, tidak ada alasan apapun bagi kepala daerah untuk tidak memfasilitasi ketersediaan rumah ibadat ketika calon pengguna telah mencapai 90 orang,” tegas Wawan di Jakarta, Kamis, dikutip dari laman Kemenag.

Dia juga menilai, berbagai pihak perlu mendapatkan informasi yang sangat baik bahwa Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/SK1975 tanggal 28 Maret 1975 sudah tidak relevan lagi untuk dijadikan dasar penolakan pendirian gereja.

Pertama, kata Wawan, regulasi tersebut diterbitkan pada saat komposisi penduduk muslim daerah Cilegon sebesar 99 persen, sebagaimana disebutkan pada konsideran menimbang pada SK Bupati dimaksud.

Baca Juga: Aniaya Remaja dengan Senjata Tajam, Polisi Tangkap 9 Anggota Geng Motor di Cilegon!

Sementara situasi Kota Cilegon sekarang sudah berubah. Berdasarkan data sensus Badan Pusat Statistis (BPS) tahun 2010, kata Wawan, komposisi umat Kristen di Kota Cilegon mencapai 9,86 persen. Sementara komposisi umat nonmuslim secara keseluruhan mencapai 12,82 persen.

Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : Kompas TV/Kompas.com


TERBARU