> >

Soal Potensi Rivalitas Menuju Ketum PBNU, Pengamat: NU bukan Organisasi Politik atau Parpol

Agama | 11 Oktober 2021, 11:11 WIB
logo Nahdlatul Ulama, pada akhir tahun 2021 akan digelar Muktamar yang akan memilih ketum PBNU (Sumber: Kompas.com)

JAKARTA, Pengamat Sosial dan Keagamaan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Syukron Jamal, menilai potensi rivalitas menuju Muktamar Nahdlatul yang digelar akhir tahun ini di Lampung wajar saja. Namun, Syukron juga mengingatkan, NU berbeda dengan organisasi politik maupun partai politik.

Hal yang membedakan, menurut Jamal adalah, Nahdlatul Ulama merupakan organisasi keumatan. Apalagi, dalam gelaran Muktamar NU yang ke-34 kali ini tampaknya muncul dua calon terkuat yang digadang-gadang bakal jadi calon terkuat ketum PBNU.Dua calon itu adalah KH Said Aqil Sirajd dan Gus Yahya Staquf.

Nama pertama adalah petahana yang sudah menjabat dua periode Tanfidziyah. Dalam AD/ART organisasi NU sendiri tidak ada larangan jadi ketua lebih dari dari dua periode. Sedangkan Gus Yahya  adalah Katib Aam (sekretaris) Syuriah di NU. Potensi rivalitas itu bisa saja terjadi, tapi beda dengan organisasi politik. 

"NU bukan organisasi politik atau partai politik, melainkan organisasi keumatan," tutur Syukron sebagaiman rilis yang diterima KOMPAS TV, Minggu malam.

Baca Juga: Gus Yahya dan Said Aqil Dinilai Layak Jadi Ketum PBNU, Siapa Bakal Dipilih oleh Para Nahdliyin?

Syukron yang juga merupakan Koordinator Jaringan Muslim Madani (JMM) juga meningatkan, nantinya para calon atau siapa pun yang turut serta dalam kontestasi pemilihan ketua umum ini harus menjaga marwah organisasi NU.

Ia juga yakin, calon-calon yang terpilih nanti untuk maju sebagai ketua adalah ulama dan figur tokoh yang dihormati. “Harus dihindari upaya saling menjatuhkan secara personal,” tambahnya.

Syukron juga mengingatkan, secara organisai  tantangan NU ke depan akan semakin berat.  Apalagi, menurutnya, seiring dengan era globalisasi yang ditandai dengan interkoneksi, antara manusia satu dan lainnya saling terhubung dengan berbagai latar belakang suku bangsa, ideologi dan pemikiran berbeda.

Sehingga, menurutnya, di dunia yang terus berubah, NU dituntut meningkatkan kualitas SDM kader Nahdliyin yang mampu menjawab kebutuhan sekaligus persoalan global.

"Di era globalisasi sebagai pengaruh keterbukaan informasi, kita saat ini dihadapkan pada massifnya penyebaran paham dan gerakan ideologi transnasional yang tidak sedikit bertolak belakang dengan semangat moderasi beragama, kultur serta budaya bangsa, namun justru subur dan berkembang di tanah air kita tercinta," jelas Syukron.

Penulis : Dedik Priyanto Editor : Purwanto

Sumber : Kompas TV


TERBARU