> >

Balai Konservasi: Tak Benarkan Memberi Makan Saat Menghadapi Satwa Liar

Sosial | 11 Juni 2021, 17:19 WIB
Orang utan yang menjalani perawatan dan rehabilitasi di Pusat Rehabilitasi Orangutan Samboja Lestari yang dikelola Yayasan Borneo Orangutan Survival di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Jumat (12/3/2021). (Sumber: Kompas.id/ Priyambodo)

BALIKPAPAN, KOMPAS.TV – Di balik kejadian orang utan masuk ke permukiman warga di Kabupaten Paser, ada banyak faktor yang memungkinkan orang utan menjelajah hingga keluar hutan. 

Hal itu dikemukakan oleh Agus Irwanto dari Yayasan Samboja Lestari, pusat rehabilitasi satwa Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS) di Kaltim. Kemungkinan pertama, terjadi perubahan tutupan lahan yang sebelumnya hutan menjadi areal peruntukan lain.

“Kemungkinan pertama itu kecil sebab daerah di sekitar Desa Lusan merupakan hutan belantara,” terang Agus.

Kemungkinan lainnya adalah masa paceklik buah-buahan hutan di wilayah tinggal orang utan saat itu. Kondisi tersebut memaksa orang utan keluar dari habitat untuk mencari daerah yang tersedia sumber pakan.

Kemungkinan selanjutnya, areal kerja manusia atau permukiman tersebut dulunya adalah areal perlintasan orang utan untuk foraging (mencari makan).

Dengan kemungkinan-kemungkinan tersebut, cara terbaik menghadapi satwa liar, seperti orang utan adalah tidak mengusiknya, apalagi memberi makan. Kecuali, satwa itu benar-benar butuh pertolongan, seperti mengalami luka atau meregang nyawa, dilansir dari laman Kompas.id (11/6/2021).

Selain itu, menghubungi ahli atau BKSDA juga penting dilakukan untuk memberi perlakuan tepat kepada satwa liar.

Baca Juga: Orangutan Tersesat ke Pemukiman Warga Akhirnya Dievakuasi dan Dibawa ke Pusat Rehabilitasi

Tangani Satwa Liar

Pelaksana Tugas Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kaltim Nur Patria Kurniawan menambahkan, kebanyakan satwa yang masuk permukiman warga karena mencari makanan atau minum. Atau kemungkinan lain, ia tersisih dari kelompoknya karena faktor tertentu.

”Dalam kondisi lapar dan tersisih, emosinya tinggi. Satwa liar berpotensi marah dengan perlakuan apa pun manusia karena merasa terganggu,” ujar Nur.

Dia menambahkan, cara terbaik adalah menjauhi dan tidak membuat gerakan yang membuatnya terusik. Sebab, satwa liar kemungkinan membawa patogen yang bisa menularkan ke manusia.

Jika permukiman warga berada di dekat hutan, satwa bisa digiring dengan bunyi-bunyian agar masuk kembali ke habitatnya.

Memberikan makan kepada satwa liar sehat juga tidak bisa dibenarkan. ”Sebab, mereka juga belajar dari pengalaman. Satwa liar akan merasa mendapat makanan gratis dan mudah di pemukiman. Mereka akan kembali lagi ke sana,” ujar Nur.

Forum Orangutan Indonesia (Forina) mencatat, orang utan Kalimantan berjumlah 57.350 ekor di habitat seluas 16 juta hektare. Adapun orang utan di Kaltim diperkirakan 14.000 iekor. Keberadaannya kini dilindungi.

Berperan Penting

Sebelumnya, orang utan yang masuk permukiman warga di Kabupaten Paser dibawa ke pusat rehabilitasi yang dikelola Yayasan BOS di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Untuk itu, mengembalikan orang utan ke habitatnya amat penting. Sebab, orang utan merupakan bagian penting untuk kelestarian hutan.

Primata besar itu merupakan salah satu spesies payung yang keberadaannya menyokong keberlangsungan spesies lain.

Dari sisa makanan dan kotoran mereka, penyebaran benih tumbuhan di hutan berlangsung alami bertahun-tahun. Hal itu melanggengkan keanekaragaman hayati dan menjaga hutan sebagai daya dukung lingkungan.

Pohon-pohon di hutan menyerap karbon dan menyerap air hujan. Bagi manusia, manfaat yang didapat adalah ketersediaan oksigen. Adapun kemampuan pohon di hutan alami dalam menyerap air berfungsi sebagai daya dukung lingkungan untuk menghindari longsor atau banjir wilayah sekitarnya.

Baca Juga: Kampanye Stop Konsumsi Satwa Liar

 

Penulis : Fransisca Natalia Editor : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : Kompas TV


TERBARU