> >

Kisah Masomah Ali Zada, dari Kekangan Taliban Afghanistan hingga Jadi Atlet Olimpiade

Olimpiade tokyo | 20 Juli 2021, 07:57 WIB
Pebalap Sepeda Perempuan Tim Pengungsi Olimpiade Tokyo 2020, Masomah Ali Zada. (Sumber: olympics.com)

LILLE, KOMPAS.TV - Barang kali ada yang belum tahu,  ada di tim atlet pengungsi berlaga di Olimpiade Tokyo 2020. 

Total, ada 29 atlet tim pengungsi yang akan bertanding di Olimpiade kali ini. 

Seluruh atlet tersebut akan tersebar memperebutkan medali dari 12 cabang olahraga: atletik, bulu tangkis, tinju, kano, balap sepeda, judo, karate, taekwondo, menembak, renang, angkat beban, dan gulat.

Salah satu atlet pengungsi yang patut disorot adalah  Masomah Ali Zada. 

Pebalap sepeda berusia 24 tahun itu melarikan diri dari represi Taliban Afghanistan untuk mengejar mimpinya berlaga di Olimpiade.

Sejak masih berusia 18 bulan, Ali Zada sudah terpaksa menjadi eksil di Iran, karena situasi di kota Kabul yang dikuasai Taliban. 

Baca Juga: Perjuangan Perenang Bintang Jepang Sembuh dari Leukemia Hingga Berlaga di Olimpiade Tokyo 2021

Sembilan tahun berselang, usai Taliban sudah tidak menguasai Afghanistan, Ali Zada kembali pulang.

Tetapi, kondisi belumlah aman bagi para perempuan, khususnya pebalap sepeda seperti Ali Zada dan rekan satu timnya. 

"Mereka [Taliban] tidak dapat menerima bahwa perempuan memiliki hak untuk bersepeda," kata Ali Zada dalam wawancara bersama BBC. 

"Ada segelintir orang yang merasa bahwa mereka memiliki tanggung jawab untuk menghentikan kami. Mereka berpikir kami bukan contoh yang baik bagi perempuan lain." 

Akan tetapi, Ali Zada tetap bersepeda. 

"Awalnya, hanya orang tua saya yang tahu dan mereka berkata 'apa yang kamu lakukan?' Dan saya harus berbohong seperti pergi les bahasa dan sebagainya," imbuhnya. 

Baca Juga: Fakta-Fakta Menarik tentang Olimpiade Tokyo 2020

Masomah mengawali balap sepeda dengan para perempuan lainnya dan bergabung ke tim nasional Afghanistan. 

Namun, dirinya dan tim Afghanistan sering mendapatkan kekerasan fisik saat bersepada, seperti dipukuli. 

"Saya tahu ini akan sulit, tetapi saya tidak pernah menyangka orang-orang akan memukul kami," terang Ali Zada dikutip dari france24. 

"Tahun pertama saya memulai balap sepeda, seseorang memukul saya. Dia di mobil. Dia memukul saya dengan tangannya." 

"Hampir semua perempuan yang bersepeda di Afghanistan mengalami pengalaman serupa. Orang-orang menghina kami." 

Lantaran kegigihan untuk terus melawan masyarakat represif lewat bersepada, Ali Zada dan tim balap sepeda perempuan Afghanistan mendapatkan nominasi Nobel Perdamaian pada 2016 silam.

Di tahun yang sama, Arte membuat dokumenter tentang Ali Zada yang berjudul Les Petites Reines de Kaboul. 

Akan tetapi, atensi yang berlebih dari dunia luar memaksa Ali Zada dan rekan-rekannya harus meninggalkan Afghanistan lagi.

Pada akhirnya, Ali Zada dan keluarga pindah ke Perancis pada 2017 silam dan meraih beasiswa Olimpiade untuk atlet-atlet pengungsi.

Dari 56 atlet penerima beasiswa tersebut, Ali Zada beserta 28 atlet pengungsi lainnya lolos kualifikasi untuk bertanding di Olimpiade.

Sebulan sebelum bertanding di Tokyo, Ali Zada berlatih secara intens selama satu bulan di UCI World Cycling Centre, bagian barat Swiss.

“Dengan mengikuti Olimpiade, saya ingin meyakinkan mereka yang menganggap wanita bersepeda tidak pantas atau merasa aneh bahwa wanita muslimah berjilbab adalah pengendara sepeda bahwa itu normal," sebut Ali Zada dikutip dari situs resmi Olympics.

 

Baca Juga: Teruntuk Atlet Indonesia di Olimpiade Tokyo, Pesan Liliyana Natsir: Mental Sangat Penting!

"Saya ingin menunjukkan bahwa perempuan bebas melakukan apapun yang mereka inginkan."

Penulis : Gilang Romadhan Editor : Iman-Firdaus

Sumber : France24/ Olympics.com/ BBC


TERBARU